Novel I'm A Chef Not A Killer by Tn.Typo
Novel I'm A Chef Not A Killer by Tn.Typo – Velano mendapat kabar baik bahwa dirinya dipromosikan menjadi executive chef tak lama setelah diangkat sebagai sous chef. Beberapa minggu sejak dipromosikan, Velano merombak sedikit aturan lama yang dianggap kurang akurat jika diterapkan. Rian pun diangkat sebagai asistennya.
Karier Velano sebagaI executive chef ternyata tidak berjalan seperti yang ia harapkan. Nyaris setiap hari terjadi masalah dan hal-hal ganjil di dapur. Tak hanya itu, Velano mulai mendapat teror dari orang asing. Apalagi ketika sesosok tubuh tanpa kepala ditemukan di kamar mandi tepat sebelum restoran buka.
Bagaimana jika pisau yang digunakan untuk memotong daging menjadi senjata pembunuhan? Bagaimana jika dapur restoran yang menjadi tempat mengolah makanan menjadi persembunyian seorang pembunuh?
Bau amis menyeruak. Perutku terasa mual, melilit tak tertahan. Sebisa mungkin aku menutup hidung dengan tangan karena tidak ada masker yang bisa kupakai untuk menutupnya. Mataku tak henti menatap tubuh tak berkepala di atas kloset.
Sudah hampir tiga puluh menit kami berdiri di toilet perempuan, menatap tubuh tak bernyawa yang dipastikan pernah bekerja di restoran ini. Hanya saja belum diketahui kejelasan identitasnya. Kepalanya masih belum ditemukan.
Sejujurnya, aku tak sanggup melihat darah berceceran di toilet ini, berbaur dengan genangan air di beberapa tempat, termasuk di sudut toilet. Darah itu kontras dengan lantai keramik yang putih. Namun, rasa penasaran menahan kakiku untuk tetap di sini.
Kemudian seorang pria yang sudah lama kukenal berlari terengah-engah menuju kemari. Bulir keringat membasahi kening hingga tubuhnya, termasuk pakaiannya. Kuduga itu bukanlah keringat karena ia berlari, melainkan karena takut. Wajahnya pucat, ia berdiri gemetar. “A-aku melihat kepala di toilet pria,” katanya gugup.
Tidak ada yang menyangka, orang bertubuh kekar bisa pucat karena ketakutan.
Aku menghela napas lega. Setidaknya sedikit misteri sudah terungkap. Tinggal mencari korban dan pelakunya.
Pak Renaldo, manajer restoran yang juga ada bersama kami, berlari menuju toilet pria. Tak mau dihantui rasa penasaran, aku pun ikut serta. Demikian juga beberapa karyawan yang cukup berani.
Selama perjalanan menuju toilet, aku membayangkan mata kepala itu memelotot tajam, menatap orang-orang yang datang melihatnya. Seolah-olah menaruh dendam atas ketidaktahuan kami bahwa ia telah tiada. Benar saja, setibanya di pintu toilet, kepala seorang wanita tergeletak di lantai kamar mandi, menatap tajam ke arah pintu.
Aku bergidik. Rasa takut mulai menyergap. Aku khawatir ia akan menghantuiku, datang saat aku terlelap. Seperti adegan film horor yang kutonton bulan lalu.
Bab 1 I'm A Chef Not A Killer
Aroma bumbu menguar memenuhi setiap sudut dapur restoran. Potongan wortel dan kentang berdadu tertata rapi dalam mangkuk kaca. Di atas talenan, sepotong sirloin siap dieksekusi menjadi hidangan istimewa sesuai pesanan tamu. Dapur ini cukup bersih meski ada beberapa peralatan memasak yang bertebaran di meja. Namun, aku cukup nyaman.
Pisau berukuran sedang yang menjadi andalanku kugenggam erat.
Butuh ketelitian dalam memotong sirloin. Selain harganya yang mahal, penanganan terhadap sirloin juga butuh teknik khusus agar daging tidak keras ketika dimasak. Aku mengayunkan pisau, perlahan memotong daging tersebut mengikuti seratnya.
Aku berjalan beberapa langkah ke lemari kayu di pojok dapur. Berbagai rempah tersusun rapi di dalam botol kaca, sesuai jenis dan ukuran botolnya. Aku meraih lada hitam, oregano, dan daun salam. Tiga rempah yang tak boleh terlupakan.
Aku menaburkan semua rempah yang kuambil dari lemari dan sedikit garam. Setelahnya, aku menuangkan sedikit LP Sauce(kecap Inggris). Lalu kudiamkan tiga puluh menit untuk proses marinade.
Sembari menunggu proses marinade, aku menyiapkan kondimen untuk sirloin ini. Aku merebus sebentar sayuran yang sudah kupotong dadu, kemudian menatanya di piring. Saat aku menata, asistenku yang menjabat sebagai commis 3*, menghampiriku dengan membawa black papper sauce di dalam sauce pan. Asap tipis mengepul di atasnya. Aroma lada hitam dan bawang bombai menggelitik hidung. Aku memejamkan mata sejenak, menikmati aroma yang sudah jarang tercium hidungku.
(*Commis chef bertanggung jawab dalam mengolah bahan baku dasar. Umumnya, commis chef terdiri dari commis 3, commis 2, dan commis 1.)
“Black papper sauce-nya aku letakkan di meja, ya, Bang!” ucap Rian, pria kekar dengan jenggot yang menggelayut di dagu. Wajahnya tampak sangar dengan bulu-bulu halus. Namun, ia orang yang sopan dan ramah. Malah terkadang terlalu ramah. Ia juga pekerja keras dan disiplin.
Aku menoleh, menyunggingkan seulas senyum. “Oke, Ri,” kataku bersemangat. “Makasih, ya. Maaf saya ngerepotin kamu.”
Seharusnya membuat saus itu tugasku. Akan tetapi, Rian yang tidak begitu sibuk menawarkan diri untuk membantu. Setelah kupikir-pikir, tidak ada salahnya. Lagi pula ia bisa belajar sedikit tentang mengolah sirloin menjadi steik.
“Tidak masalah, Bang,” katanya terkekeh. Ia mengambil serbet, membersihkan tangannya yang terkena cipratan saus. “Aku senang, kok, bisa bantuin Bang Velano. Aku bisa nyuri ilmu sedikit-sedikit. Lagi pula, kan, Abang udah jarang masak di dapur. Jadi, aku pengin ngerasain gimana berpartner dengan seorang sous chef(asisten chef utama) di dapur.”
Mau tak mau, aku ikut tertawa. “Bisa aja kamu, Ri,” kataku. Selesai menata kondimen di piring, aku berbalik ke meja tempat sirloin kudiamkan. Sudah tiga puluh menit berlalu. “Rian, sini, deh. Kamu nggak sibuk, kan?”
Rian mendekat, berdiri tepat di sebelahku. Kepalanya manggut-manggut melihat sirloin yang sudah siap di-grill. Aroma parfumnya cukup menyengat hidungku. “Nggak terlalu sibuk, sih, Bang,” katanya kemudian. “Tadi, Kak Rehana cuma minta aku bantu dia motongin buah di cold kitchen(dapur makanan pembuka). Abis itu dia bilang supaya aku bantu yang lain di hot kitchen(dapur makanan utama).”
“Em, baiklah. Kupikir dia bisa mengatasi orderan di cold kitchen.” Aku melirik Rian. “Ya, memang aku jarang berbicara dengannya, tapi cukup sering memperhatikannya bekerja.”
“Ya, begitulah,” kata Rian. “Menurutku dia cukup misterius untuk dipahami.”
Aku tersenyum.
“Oh, ya, Ri, tamu yang pesan makanan ini orang mana?” tanyaku sedikit penasaran. Memang bukan itu yang menjadi alasanku memanggilnya ke sini, melainkan aku merasa perlu menanyakan hal itu.
“Tadi aku sempat tanya waiter, katanya, sih, orang Belanda, Bang,” kata Rian. “Emang kenapa, Bang?”
Aku bisa melihat ekpresi ingin tahunya. Di balik wajah menyeramkannya, tersembunyi rasa ingin tahu yang tinggi. Dan itu suatu hal yang baik. Aku selalu berharap, orang-orang yang ada di bawahku bisa mengikuti jejakku kelak.
“Ya, soalnya steiknya diminta dengan tingkat kematangan medium,” kataku lirih. “Kamu juga harus tahu, beberapa tingkat kematangan untuk steik. Orang Indonesia sangat jarang memesan steik dengan tingkat kematangan rear sampai medium. Umumnya mereka memesan yang welldone, meski ada beberapa yang menyukai steik dengan kematangan medium well.”
Rian manggut-manggut. Bibirnya membentuk huruf O. “Oh, gitu. Jadi, kalau yang akan kita masak ini medium, ya? Berarti setengah matang, kan, Bang?”
Aku tersenyum. “Ya, tapi jangan pernah menyebutnya setengah matang,” kataku menahan tawa. “Nanti kamu bisa ditertawakan teman-teman yang lain. Kamu harus menyebutnya medium.”
Pria keturunan Minang itu menunduk, mungkin malu karena ucapanku. Namun, tidak masalah, itu baik untuknya. Dulunya ia seorang steward. Akan tetapi, karena rasa ingin tahu yang tinggi, ia direkrut menjadi cook helper satu tahun lalu.
“Ya udah, nggak usah dipikirin. Nanti kamu bisa belajar lagi tentang teknik pengolahan makanan,” kataku. Aku meraih pan, melelehkan sedikit mentega, kemudian menaruh potongan sirloin di pan yang sudah panas. Bunyi desis mentega membuatku makin semangat. Sudah cukup lama aku tidak bersentuhan langsung dengan perabotan dapur. Aku sering melihat para chef memasak, mencium aroma makanan yang mereka olah. Namun, rasanya sangat berbeda jika aku yang langsung mengolah makanan tersebut.
Api merah terus menyulut pan yang kian memanas. Sedikit asap mulai menguap. Aku membalik sirloin, warnanya kecokelatan, tetapi tidak begitu gelap. Sesuai dengan yang kuharapkan. Meski sudah menjadi sous chef, terkadang aku masih takut gagal memasak. Dunia memasak itu dunia yang terbilang rumit tetapi menyenangkan. Hal kecil saja bisa merusak semuanya. Dan aku tidak mau hal itu terjadi. Tidak untuk kali ini.
Untuk sentuhan akhir, aku menyipratkan sedikit wine ke dalam pan. Dengan cepat lidah api menjalari pan. Hampir seperti kebakaran kecil. Aku melirik Rian sekilas. Pria itu tampak takjub atas atraksi kecil yang kusuguhkan.
Setelah steik matang, aku menatanya di piring yang terisi dengan beberapa kondimen. Kemudian aku menuang black papper sauce, pembersihan kecil di pinggiran piring, dan selesai. Aku berdiri, menghela napas lega. Rian tersenyum bangga melihat hidangan yang begitu menggugah selera itu, seolah-olah ia yang memasaknya.
“Bagaiamana, Rian? Mudah, kan?”
Ia sedikit tersentak, lalu berdiri tegak menatap ke arahku. “Mudah bagi Bang Velano, tapi sulit bagi orang sepertiku,” katanya terkekeh.
“Nanti juga kamu bakalan bisa, kok,” kataku memberi semangat. “Yang penting kamu terus belajar, terus berusaha, dan jangan pernah ragu untuk mencoba. Ingat, Rian, kamu tidak akan pernah tahu sejauh mana batas kemampuanmu, jika kamu tidak pernah mengujinya. Tetap semangat, ya!”
“Butuh waktu berapa lama, sih, biar bisa jadi chef kayak Bang Velano?” Ia bersandar di meja stainles.
Aku bergumam kemudian tersenyum. “Tergantung. Kalau terus belajar dan tidak malas mencari tahu, kamu pasti cepat naik jabatan. Tapi, di dunia ini tidak ada yang instan, kan? Semua harus melaui tahap demi tahap.”
Rian termenung sesaat, mungkin memikirkan ucapanku. “Kayaknya ada cara yang lebih mudah.”
Aku menoleh, menaikkan sebelah alis. “Kayaknya untuk mencapai segala sesuatu butuh proses, deh.”
Rian tersenyum penuh arti. “Nanti juga Bang Velano tahu, kok.”
Aku mendesah kemudian mengedikkan bahu. Apa pun yang ia pikirkan, biarlah itu menjadi masalahnya sendiri. Barangkali ia punya cara yang lebih praktis untuk mencapai tujuannya.
...
Baca bab gratis selanjutnya dengan klik: novel I'm A Chef Not A Killer
Baca Juga: Novel Ted on Tuesday by Robin Wijaya
Di Cabaca tidak hanya ada novel romantis, tapi juga ada novel crime. Yuk, ikuti keseruan baca novel online di aplikasi Cabaca. Kamu bisa berkunjung di Jam Baca Nasional setiap pukul 21.00 - 22.00 WIB, berlaku untuk baca buku tamat terbitan Cabaca saja ya! Install aplikasi Cabaca di Play Store di HP kamu.