Novel 831 by Gladistia Cuan
Novel 831 by Gladistia Cuan – Nelson, Direktur Akademi Gemilang berusia tiga puluh dua tahun itu menawarkan kontrak pernikahan 831 pada Leya. Semua itu Nelson lakukan demi memenuhi syarat yang diajukan omanya agar bisa mendapatkan kembali Akademi Gemilang yang diwariskan sang ayah.
Namun, Leya menolak. Nelson melakukan segala cara agar bisa membuat Leya menerima tawarannya itu. Hingga suatu hari Nelson menyelamatkan kehidupan Leya dan keluarganya, tak ingin berutang budi, Leya akhirnya menerima tawaran Nelson. Ternyata setelah menikah, banyak hal yang terjadi di antara Nelson dan Leya. Nelson pun terjebak pada pilihan yang sulit.
Akankah Nelson bisa mencapai tujuan utamanya atau malah sebaliknya?
Bab 1 Novel 831
“Kita lanjut pembicaraannya di rumah.” Pria dengan jas double breasted biru itu mematikan ponselnya secara sepihak. Mata kecil dengan manik hitam pekat memperhatikan jam yang melingkar di pergelangan tangan kanan, ia pun memasukkan benda pipih berlogo apel setengah tergigit itu ke dalam saku jas.
Beberapa dosen dan mahasiswa yang melintas, menyapa pria bertubuh tinggi tegap itu. Sayang, senyum ramah dan sapaan hangat yang mereka berikan hanya dibalas dengan anggukan kecil olehnya. Ia pun berlalu pergi begitu saja. Untung saja mereka sudah tahu, kalau pria yang menjabat sebagai Direktur di Akademi Gemilang memiliki sikap sedingin kulkas dua pintu.
Kaki jenjang terbalut monk strap hitam menaiki satu per satu anak tangga, yang jumlahnya lebih banyak dari deretan mantannya. Sesaat ia menghentikan langkahnya, tangannya buru-buru mengeluarkan saputangan dari saku celana. “Saat Akademi Gemilang kembali lagi ke saya, tangga-tangga tua ini akan saya ganti dengan lift atau eskalator. Saya juga akan memasang banyak AC,” gerutunya sembari mengusap dahi yang dibanjiri keringat. Ia kemudian meneruskan langkahnya menuju lantai empat.
Sesampainya di lantai empat, langkahnya terhenti secara mendadak.
Dahinya mengernyit.
“Mang Solihun,” panggilnya. Namun, pria berseragam biru telur asin dengan tulisan cleaning service di bagian punggung itu terus saja mengepel lantai sembari menggoyang-goyangkan bokong sintalnya, sesekali ia bersiul dengan riang gembira lalu mengangkat tangan seolah sedang mengajak orang-orang menari di lantai dansa.
Direktur Akademi Gemilang menepuk-nepuk pundak Mang Solihun.
Mang Solihun buru-buru menoleh sembari melepas earphone. “Eh, Pak Nelson.” Ia merapikan belahan rambutnya dengan kedua tangan. “Duh, maaf pisan ya, Pak. Mamang teh sedang bersih-bersih sambil mendengarkan musik, jadinya teh ....”
Nelson Abraham meminta cleaning service itu bergeser beberapa langkah, agar tak menghalangi dirinya yang ingin masuk ke ruangan.
Tangan kirinya menaruh tas di meja. “Mang Solihun tolong buatkan saya teh hangat. Enggak—”
“Enggak pakai gula, dan tehnya jangan terlalu pekat. Mamang mah udah hapal benar atuh, Pak Nelson,” sambarnya. “Soalnya selera Pak Nelson teh sama pisan sama almarhum Pak Abraham. Memang buah mah enggak akan pernah jauh jatuhnya, pasti di bawah pohonnya. Kalau bukan di bawah pohonnya, berarti eta buah na bangor, ngagorolong ka mana-mana sangenah na,”[1] cerocosnya dengan lengkungan lebar tersungging di bibirnya.
Nelson menaikkan alis kirinya.
Tangan Mang Solihun kembali membenarkan belahan rambutnya yang sedikit tertiup angin. “Mau tambah yang lainnya, Pak?” Mang Solihun berdiri di samping Nelson. “Saran aja ini mah, minum teh enaknya ditemani pakai bubur ayam, nasi uduk semur jengkol, atau lotong sayur Padang gang sebelah. Kalau mau yang agak-agak ringan, buras pakai bala-bala disiram bumbu kacang. Raos pisan, Pak.” Ia menjentikkan jari. “Atau ... roti gambang yang di toko ujung jalan. Teh hangat ditambah roti gambang, kaya Romeo sama Juliet. Cocok pisan itu mah, Pak. Gimana, jadi mau dibelikan sarapan apa?”
“Saya mau teh hangatnya enggak pakai lama,” sahut Nelson.
“Kirain teh mau sekalian sarapan. Kan lumayan bisa ikutan ganjal sementara,” bisiknya sambil mengusap-ngusap perut yang tiba-tiba berbunyi.
Direkturnya itu menoleh dengan satu alis terangkat. “Mang Solihun ngomong sesuatu?”
“Siap, ge-rak!” Cleaning service itu menyimpan asal gagang pel di depan pintu ruangan Nelson. Buru-buru menuruni tangga, dengan tangan sibuk merapikan belahan rambutnya yang lagi-lagi tertiup angin.
Nelson menggeleng. Tingkah laku salah satu karyawan kesayangan almarhum ayahnya itu tak pernah berubah. Ia mengeluarkan saputangan, buru-buru menggeser gagang pel yang sangat mengganggu. Nelson segera menyemprotkan cairan pembersih tangan. Ia tak ingin tangannya dijadikan persigahan kuman-kuman untuk bercinta apalagi sampai beranak pinak. Sangat menjijikan.
Netranya mengudara, memperhatikan ruangan yang didominasi dengan warna navy itu telah bersih dan wangi. Semua map ordner tersusun secara berurutan sesuai warna di rak arsip, dan tumpukkan kertas tersusun rapi di meja sudut, seperti yang Nelson inginkan. Direktur berusia tiga puluh dua tahun itu mengeluarkan laptop untuk melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda karena ulah oma dan opanya, yang suka sekali membuang waktu Nelson untuk hal-hal tidak penting yang sangat tak disukainya.
Dahinya mengerut. “Ke mana, ya?” Jari telunjuknya terus memutar-mutar bagian tengah mouse. “Oh ya, file-nya masih ada di Almer. Saya akan ke ruangannya untuk meminta file itu, sekalian menanyakan mengenai penetapan saya sebagai dosen pembimbing.”
Nelson menuruni tangga menuju lantai dua. Saat melewati lorong menuju ruangan Almer, Nelson menoleh ke kanan. Ruangan yang bagian kaca atasnya ditempeli banyak jadwal perkuliahan dan ujian para mahasiswa itu mendadak hening. Biasanya ruangan BAAK(Biro Administrasi Akademi dan Kemahasiswaan) selalu gaduh dengan suara printer, bisingnya mesin fax, dering telepon, atau suara si pemilik ruangan yang sedang mengobrol dengan dosen atau mahasiswa. Namun ini malah sebaliknya, tak seperti biasanya.
Nelson mencopot kertas merah jambu yang tertempel di pintu ruangan BAAK. Kepalanya menyembul dari celah pintu, ia ingin melihat apa yang terjadi dengan karyawan termudanya itu. Dahi Nelson mengerut hingga alis tipisnya bertaut sempurna.
Tangan kirinya membuka pintu kaca itu lebar-lebar. Kakinya berjinjit saat memasuki ruangan yang dipenuhi dengan kertas, map, kantung plastik, serta botol-botol isi ulang tinta printer yang berserakan tak karuan.
“Ini sebenarnya ruang kerja atau kandang sapi sih?” Nelson memijat-mijat kening, kepalanya terasa pecah berkeping-keping.
Nelson menyugar rambut hitam legamnya sembari menghela napas cukup panjang. Tangan kirinya segera melepas dua kacing jasnya, lalu menyampirkannya ke kepala sofa. Pria berkulit seputih salju itu menggulung lengan kemejanya sampai siku. Ia menunduk untuk memungut satu per satu barang yang teronggok di lantai. Memilah-milah mana yang harus dibuang ke tempah sampah, dan yang masih bisa disimpan.
Direktur berwajah oriental itu membersihkan tangannya yang sedikit kotor terkena tinta printer dengan tisu sambil mendekati meja Leya. Jari tengahnya mengetuk-ngetuk kaca meja. “Leya, bangun. Ini kantor. Tempat untuk bekerja, bukan tidur.” Bukannya terusik, Leya malah menggeser tubuhnya dengan mata masih terpejam.
Sebagai Direktur, sudah menjadi kewajiban Nelson untuk menegur dan memberi nasihat pada karyawannya yang berbuat tidak benar. Tidak memberikan kontribusi apa pun untuk kemajuan Akademi Gemilang. Hanya datang, bermalas-malasan sampai ketiduran seperti yang Leya lakukan, tetapi mendapat gaji penuh seperti karyawan lain yang giat bekerja. Tidak adil. Hal tersebut tidak akan pernah Nelson biarkan. Leya harus diberi peringatan!
Nelson kembali memanggil Leya dengan suara sedikit meninggi.
“Lima menit lagi deh, masih ngantuk banget nih. Gara-gara tuh kutu kupret yang nyuruh lembur terus, kan capek!” racau Leya dengan mata masih terpejam.
“Ku-kutu kupret? Maksudnya saya, gitu?” Nelson menyugar rambut sampingnya. Bisa-bisanya Leya mengata-ngatai atasannya seperti itu. Leya memang harus diberi peringatan keras!
Tangan kirinya ingin menyentuh bahu Leya, tetapi tertahan saat melihat beberapa kertas tertindih lengan sang BAAK. Buru-buru Nelson menggeser kepala Leya, lalu menarik kertas yang sudah lecek dan sedikit basah terkena air liur Leya dengan tisu.
Lipatan dahi Nelson terlihat dalam. Harusnya ada di Almer, tapi kenapa jadi ada di sini dengan kondisi seperti ini? Nelson menggeleng. “Enggak bisa dibiarkan! Leya ba ....”
Pria dengan sweater rajut hijau botor itu segera membekap mulut Nelson.
Direktur Akademi Gemilang itu pun terlonjak dengan mata membulat, langkahnya terseok-seok ketika pria yang membekap mulutnya itu menyeret paksa keluar dari ruangan Leya. Pintu ruangan pun terbanting cukup keras, sehingga Leya terbangun.
Wanita berambut ikal itu mengerjap-ngerjap matanya, lalu mengedarkan pandangannya. Leya merasa mendengar suara ribut-ribut, tetapi tak ada siapa pun di ruangannya.
BAAK Akademi Gemilang membulatkan matanya saat melihat jam bulat yang menempel di dinding. Ia menepuk pelan dahinya. “Astatang! Kerjaan yang dikasih Pak Almer belum selesai. Aduh, duduh, bahaya nih!”
Wanita berkuncir satu itu buru-buru bangkit dari kursi.
Dahi Leya mengerut saat melihat ruangannya sudah bersih, dengan barang-barang tersusun sesuai tempatnya. “Tumben Mang Solihun bersih-bersihnya enggak pakai ngomel, biasanya udah nyerocos kaya emak-emak marahin anak perawannya?” Leya mengedikkan bahu. “Mungkin Mang Solihun salah minum obat kali ya, jadi malas ngomel-ngomel deh.”
Leya langsung ke meja kecil, sebelah filling cabinet. Ia kembali menyalakan laptop untuk melanjutkan pekerjaan yang diberikan Almer.
***
Nelson segera melepaskan tangan beraroma cokelat itu, lalu mengusap-ngusap bibirnya dengan punggung tangan.
Pria yang sudah mengenal Nelson sejak di bangku perguruan tinggi itu buru-buru menutup pintu.
Dahi Nelson mengernyit saat melihat pantulan dirinya di cermin. Kedua tangannya buru-buru merapikan kemeja yang kusut akibat ulah sang Pudir I (pembantu direktur).
“Sorry, sorry, sorry. Sini, sini aku bantu rapikan.”
Nelson menepis tangan Almer.
“Jangan ngambek gitu dong, Bro, nanti gantengnya ilang digondol si oyen lho,” candanya. Namun, candaan Almer malah dibalas Nelson dengan tatapan setajam ujung pensil yang baru selesai diserut. Almer menggaruk-garuk kepalanya yang tak terasa gatal sambil memperlihatkan gigi putihnya yang tersusun rapi.
Nelson berjalan melewati Almer.
“Leya tuh udah bantu input IPK seluruh mahasiswa sampai malam. Udah itu, dia juga bantu merapikan beberapa laporan. Terus dilanjut kerja pagi. Pasti lelah banget, Bro. So, memberikannya sedikit waktu untuk istirahat, enggak ada salahnya.”
Nelson meminta Almer untuk diam, membiarkan dirinya saja yang merapikan pakaiannya sendiri.
“Oke, tapi ini, gimana maksudnya?” Ia memperlihatkan kertas yang diperoleh dari meja Leya.
Almer langsung mengambil kertas itu. “I-ini ... hmm, i-itu. Semua itu karena ....”
“Keasikan berduaan sama Leya, jadi enggak fokus kerjaanya?” sambar Nelson. Bokongnya bersandar pada ujung meja kerja Almer dengan tangan terlipat di depan dada.
Almer berdiri di samping Nelson. “Bukan gitu. Hmm, itu ....”
Sahabatnya itu menaikkan alis kiri.
Sebagai tangan kanan direktur yang bertanggung jawab di bidang akademik itu menjelaskan bahwa file berisi renstra dan statuta hilang akibat terkena virus. Sialnya, Almer belum memindahkan file-file tersebut ke flashdisck atau komputer kampus. Padahal Nelson sudah mengingatkannya. “Pagi-pagi saat mau mengerjakan ulang. Kak Alanis telepon. Tahu sendiri dong Kak Alanis tuh kaya gimana. Kalau curhat, panjangnya udah kaya gerbong kereta, Bro. Karena udah janji mau menyerahkan file-nya hari ini, ya ... enggak ada pilihan lain. Aku minta bantuan Leya deh.” Almer menggenggam tangan Nelson dengan mata memelas. “Janji deh enggak bakal gitu lagi. Jangan marah ya, please?”
Nelson kesal karena Almer ceroboh, tetapi ia tak bisa memarahi sahabat yang telah banyak membantunya. “Oke, oke.” Tangannya segera menurunkan tangan Almer, yang membuatnya risih. “Kedepannya, jangan ulangi kesalahan seperti itu lagi. Cepat selesaikan. Soalnya kita masih harus selesaikan kerjaan yang lain.”
“Rebes. Thanks, Bro.” Almer ingin memeluk sahabatnya, tetapi Nelson menahannya. Pria berkulit sawo matang itu pun menepuk pelan bahu Nelson sambil tersenyum lega.
Nelson memicingkan mata.
“Kenapa?” tanya Almer, memperhatikan arah mata Nelson.
“Gunting mana?” tanya balik Nelson.
Almer menunjukkan laci meja kerjanya. “Buat apaan sih?” tanyanya, Nelson menunjuk kerah kemeja Almer.
“Ya ampun, benang kecil doang. Nanti aja kali,” ucap Almer.
“Enggak bisa!” Nelson yang sudah gemas langsung menarik kerah kemeja Almer. Ia meminta sahabatnya itu untuk duduk tenang di kursi. Dengan cepat Nelson menghilangkan benang-benang kecil yang membuatnya amat sangat terganggu. Saat ingin menggunting benang kecil terakhir di kerah Almer, Nelson mendadak menghentikan aksinya karena suara bantingan keras pintu.
“Nelson Abraham!” Perempuan berambut perak berdiri di depan pintu sambil berkacak pinggang. Oma Sheera—oma Nelson itu memperhatikan tangan kanan cucunya yang melingkar di leher Almer, sedangkan tangan kiri Nelson mencengkeram bahu Almer. Oma Sheera pun menggeleng, Opa Nichol yang berdiri di belakangnya memalingkan wajah, sedangkan Neena langsung melipat kedua tangan sambil menggelengkan kepala.
Nelson segera mendorong Almer. “Oma salah paham, saya ....”
“Cukup! Oma ke sini karena mau melanjutkan pembicaraan kita yang belum selesai di telepon, tapi melihat semua ini, Oma sudah tidak berminat untuk melanjutkannya di sini!” Oma Sheera langsung menarik tangan Opa Nichol, keluar dari ruangan Almer. Neena mengekor di belakang mereka.
“Tunggu, Oma, Opa!” Almer mencoba menahan kepergian mereka.
Leya mengerutkan dahi saat melihat orang-orang dari Yayasan Gemilang keluar dari ruangan Almer dengan tergesa-gesa.
Nelson menahan lengan Almer. “Enggak perlu, biar saya yang jelaskan ke mereka tetang kita tadi.”
Leya berdiri mematung sambil memegang jas Nelson, yang tertinggal di ruangannya. Jelaskan ke mereka tentang kita tadi, maksudnya? BAAK bermata bulat itu memandangi direktur dan sang pudir secara bergantian, lalu menutup mulutnya sambil menggeleng. Jadi omongan si ratu gosip itu benar?
[1] Bahasa Sunda, artinya: “Karena selera Pak Nelson tuh sama banget sama almarhum Pak Abrar. Memang buah enggak akan pernah jauh jatuhnya, pasti di bawah pohon. Kalau enggak di bawah pohon, berarti buahnya nakal, menggelinding ke mana-mana seenaknya.”
Baca Novel Digital di Cabaca
Cabaca merupakan platform baca novel digital yang patut kamu coba. Kapan lagi bisa baca novel online gratis tapi legal? Semua bukunya berkualitas dan sudah melalui proses editorial. Beragam genre bisa kamu nikmati, mulai dari cerita romantis, novel tentang pernikahan kontrak, dan novel tentang perjodohan. Yuk, baca buku gratis di Cabaca. Cukup lakukan Misi Kerang aja loh! Buruan deh, install aplikasi Cabaca di HP-mu sekarang.