Novel Oh! My Office By Myemimark

Bab 1
Zaman sekarang, mencari pekerjaan itu sulit, padahal lapangan pekerjaan tersebar di setiap sudut. Gara-gara kecenderungan untuk pilih-pilih pekerjaan, para fresh gradute harus menanggung akibatnya untuk sementara waktu. Yah, atau bisa dibilang ....
Menganggur.
Dan agaknya, menjadi seorang gadis jomblo pengangguran sangatlah salah di mata masyarakat. Mengingat dan mengungkit pernikahan dini kerap kali terjadi di Indonesia, maka dirinya ini bagaikan pohon tua yang sudah melewati perang dunia dan tetap tumbuh kokoh juga dipercaya sebagai sarang makhluk gaib.
Sungguh, orang mana yang tega menumbangkan pohon tua sepertinya? Yang ada dia malah jadi sumber pemujaan minta harta dan jodoh. Meski begitu, jika pohon itu Rima, maka hanya kesialan yang akan menimpa mereka. Jangankan bermanfaat bagi orang lain, dia saja tak bisa memanfaatkan dirinya sendiri agar bisa menghasilkan uang banyak dan membeli sawah untuk budidaya tutut.
Maka Rima merancang rencana pertama menuju sebuah pencapaian untuk mengubah keringat menjadi lembaran berwarna merah yang dapat dia nikmati di akhir bulan. Tangan Rima sudah panas hanya dengan membayangkan tumpukan kertas dengan lima angka nol berwarna merah itu.
Yakni, melamar pekerjaan.
Namun, melamar pekerjaan juga tak akan semulus menggali harta karun di dalam hidung. Tangannya dituntut untuk menulis rapi, memperbanyak ijazah, memperbanyak tanda pengenal, berfoto dengan wajah datar, dan semuanya terasa merepotkan karena dia harus bolak-balik ke tempat fotokopi.
Belum lagi jika dimintai surat kesehatan dari dokter dan surat keterangan bahwa kita tidak pernah terlibat kasus dari kepolisian. Setelah itu diinterogasi oleh pemberi kerja. Kalau tidak sesuai dengan apa yang mereka cari, bersiaplah untuk ditolak. Rencana berikutnya, cari lowongan lagi di tempat lain. Itu pun kalau masih ada lowongan.
Yang jelas, pengangguran itu bukan berarti tak ingin bekerja. Mereka sudah lelah ditolak dan digantung tanpa kepastian yang jelas. Memang nyatanya, kisah mencari pekerjaan bisa lebih menyakitkan ketimbang kisah cinta. Hanya pengangguran-pengangguran tangguhlah yang terus melamar pekerjaan sampai tipis dompet kehabisan modal. Hidup pengangguran! Hidup kaum rebahan!
Dan di sinilah Rima sekarang. Dia baru mendapat panggilan kerja di sebuah perusahaan asing ternama yang tengah merekrut pegawai besar-besaran. Dia tidak terlalu mengejar posisi, yang penting dapat pekerjaan saja terlebih dahulu. Masalah jabatan, setelah berhasil nanti dia bisa minta promosi ke bagian yang lebih tinggi. Lagi pula, Rima ini kan useable, bisa ditempatkan di mana saja.
Asal jangan tiba-tiba jadi staf inti dan terlibat percintaan dengan CEO perusahaan layaknya novel romansa kebanyakan. Ditinjau dari pengalaman dan juga pendidikannya yang hanya D3, kemungkinannya kecil untuk mendapat posisi yang—konon katanya—penuh romansa perkantoran itu.
Rima menatap gedung yang tingginya membuat dia harus menengadah sampai lehernya pegal. Kantornya yang dulu tidak sampai belasan lantai. Hanya ada dua lantai dan itu pun naik-turun dengan tangga yang berakibat pegal pada kakinya.
Tak ingin menunjukkan jiwa kampungannya, dia berjalan di lobi kantor dengan tenang dan memasuki lift untuk menuju lantai dua—di mana wawancara dilakukan. Sadar hanya sendirian di dalam sana, dia mendesah lega dengan wajah melongo.
“Ya ampun, ini perusahaan atau hotel bintang lima?!” pekiknya tak percaya.
Tak ada yang namanya gelisah dalam percobaan interview keduanya selama menganggur. Dia melirik jam tangannya. Sekarang pukul sembilan kurang lima menit sedangkan wawancaranya pukul sembilan tepat.
Pintu lift terbuka, dan dia segera keluar dengan semangat. Kepalanya menoleh ke kanan-kiri, mencari ruangan tempat dilakukannya wawancara. Kemudian matanya menangkap seorang pria lewat di depannya tanpa mengalihkan pandang dari ponsel di tangannya.
Dilihat dari penampilan dan tipe ponselnya, Rima yakin pria itu hanya karyawan biasa. Tidak memegang jabatan penting di sini dan juga tak akan berpengaruh pada diterima atau tidaknya dia di perusahaan ini. Tentu saja karena pada umummya para petinggi berada di lantai paling atas.
“Maaf, Pak! Saya mau tanya!”
Panggilan Rima cukup menghentikan langkah pria itu. Si pria membalikkan tubuhnya sesaat, menatapnya dengan raut datar dan pandangan menilai. Atau mungkin memang ada yang salah dengan penampilannya? Atau rok sepannya terlalu pendek?
Namun, bukan itu yang ada di pikiran Rima sekarang. Ya ampun! Karyawan biasanya saja bule, bagaimana dengan atasannya? Apalagi yang Rima lihat tadi satpamnya tidak ada sangar-sangarnya sama sekali.
Rima hampir sesak napas ditatap begitu lekat oleh lelaki tampan di depannya. Dilihat dari penampilannya, Rima tafsir pria itu seusia dengannya dan bekerja di bagian keuangan. Dia memakai kemeja polos lengan panjang yang digulungnya sampai siku, berwarna putih dan tidak dimasukkan ke dalam celana. Celana kain hitamnya terlihat pas di kakinya yang panjang. Dan dia memakai sepatu kets khas enterpreneur muda.
Rima rasa dirinya habis bertemu jodoh di sini. Jika hari ini keberuntungan jatuh padanya, maka bukan hanya label pengangguran yang dia lepas. Tapi kejombloannya juga. Pria tampan sangat cocok untuk dinikahi karena bisa memperbaiki keturunan. Dan Rima sudah menandai pria itu bahkan saat dia belum tentu diterima kerja.
“Kalau nyari tempat interview, tinggal lurus aja!”
Dia tercegang. Bahkan bahasa Indonesianya sangat lancar dengan nada khas anak Jaksel. Yakin dia bukan bule nyasar?
“Ma-makasih,” katanya gugup.
Tak ada senyum di wajah pria itu. Namun dia juga tidak mengalihkan pandangannya dari Rima. Membuat yang ditatap cukup risi karena mata pria itu mengarah pada rok sepannya.
Rima melangkah mundur takut-takut. Percuma tampan kalau matanya jelalatan. Rima akan menghapus pria ini dari list calon suaminya.
“Udah tau rok itu sobek, masih aja dipake! Awas aja kalau besok kita ketemu lagi!” kata pria itu sinis dengan senyum miring di wajah sebelum meninggalkan tempat Rima berdiri.
Tunggu, apa dia baru saja diancam?
***
Rima terkejut begitu tahu hanya dirinya yang melakukan interview hari ini. Kini kegelisahan mulai menyergap dirinya ketika sudah duduk di kursi yang entah kenapa terasa panas. Di depannya ada sebuah meja yang menghalanginya dengan seorang wanita yang terlihat masih muda, berambut hitam pajang dan berponi.
Demi kotoran kambing di peternakan ayahnya! Rima gugup dan bisa saja mengompol di celana sekarang. Tapi dia ingat dirinya sedang pakai rok.
Walaupun ini bukan perusahaan pertama yang dia lamar, diperhatikan seperti itu tetap saja membuatnya risi. Pendingin udara di ruangan tersebut sama sekali tidak membantu padahal saat ini sedang musim penghujan.
“Rima Putri Suhadi, ya?”
Rima mengangguk pelan.
Wanita cantik yang baru saja memperkenalkan diri dengan nama Sonya itu memperhatikan Rima lagi. Secara penampilan, Rima sudah rapi. Khas para pelamar kerja dengan setelan serba hitam-putih. Hanya saja, ada kernyitan aneh di wajah wanita itu kala menatap penampilan di bawah pinggangnya.
“Siapa yang ngehubungin kamu buat interview di sini?”
“Pak Yuda, Bu!” Dia menjawab takut-takut. Merasa ada yang salah dalam dirinya. Mendadak, dia tak punya harapan untuk bekerja di sini.
Sonya berdecak. “Pak Yuda pasti gak ngasih tau kamu soal aturan di perusahaan ini, ya?”
Rima melongo dan menggeleng otomatis. Kemarin, dia hanya dapat telepon untuk langsung datang ke sini. Hanya itu. Tak ada basa-basi sama sekali dan langsung ke intinya.
“Sebenernya kamu diterima di perusahaan ini buat bagian manajer keuangan. Harusnya Pak Yuda bilang itu, bukan nyuruh kamu interview kayak gini.”
Mulut Rima menganga dan telinganya menajam. Berharap tak salah dengar. Apa dia baru saja mendengar kata manager keuangan? Jika iya, izinkan dirinya untuk sujud syukur sekarang juga.
“Se-serius, Bu?”
Wanita itu tersenyum tipis dan mengangguk. “Tapi, ada banyak peraturan buat pegawai di sini!”
Rima tak peduli dengan peraturan yang ada. Yang penting, pada akhirnya dia diterima kerja di tempat ini dengan jabatan yang cukup bagus. Jika ibunya tahu, mungkin beliau akan mengumumkannya ke seluruh kampung dan mengadakan syukuran tiga hari tiga malam.
“Ini! Harap diingat baik-baik!” Wanita itu memberikan selembar kertas padanya.
Pada awalnya, Rima tampak biasa saja membaca kata 'Peraturan'. Namun begitu meneruskan ke bawah, bukan hanya mulutnya yang melebar. Matanya juga.
PERATURAN PEKERJA ANDERSON GROUP
· Seluruh pekerja dilarang memasuki gedung apabila tidak mengenakan name tag yang telah disediakan perusahaan.
· Karyawati dilarang mengenakan lipstik atau sejenisnya, bulu mata palsu, cat kuku, dan make up lain yang dapat menghabiskan tisu dan mengotori kertas.
· Seluruh pekerja diwajibkan memakai celana. Bagi karyawati, tidak diperkenankan memakai rok dan sepatu hak tinggi yang bisa menggores lantai.
· Karyawati dilarang menggerai rambut atau menjatuhkan sehelai pun rambutnya di tempat kerja.
· Dilarang makan dalam bentuk apa pun saat jam kerja.
· Dilarang tidur saat jam kerja.
· Dilarang menginjak kaki kursi yang bisa menyebabkan kaki kursi lecet apalagi patah.
· Dilarang membuang sampah yang masih bisa digunakan.
· Dilarang bermesraan dalam bentuk apa pun ketika jam kerja.
NOTE: Berani melanggar peraturan, silakan keluar dan bangun perusahaan Anda sendiri!
Tertanda,
Arkana Geovano Anderson
CEO
Petir terasa menggelegar di belakang Rima. Dia sungguh tak percaya akan adanya aturan semacam ini. Sungguh, manusia mana yang membuatnya? Tidak tahukah seberapa pentingnya penampilan bagi seorang wanita? Sangat tidak berperi kefemininan.
“Hari ini aku maafin, tapi mulai besok harap patuh sama aturan, ya!” kata Sonya ramah. “Aku harap kamu terbiasa sama peraturan itu.”
Wanita itu melirik sekelilingnya yang mana hanya mereka berdua. Kemudian dia berbisik, “CEO kita sensitif kalau ngeliat orang yang ngelanggar peraturan.”
Dan Rima pun melakukan hal yang sama, duduk agak condong ke arah wanita itu. “Apa dia punya penyakit aneh, Bu?”
“Dia emang absurd dan penyakitan orangnya. Pokoknya, selama kamu kerja di sini, jangan ngelakuin kesalahan!”
“Siapa yang penyakitan?”
Suara itu menyentak kedua wanita berbeda usia itu dan membuat keduanya menoleh takut-takut ke arah pintu. Rima mendapati sosok pemuda yang plonga-plongo menatap mereka. Apakah itu adalah CEO perusahaan ini? Mana mungkin! Dia bahkan terlihat sangat awet muda. Dalam pikiran Rima, atasannya yang bernama Arkan itu mungkin seorang lelaki tua bertubuh gemuk dan punya dua istri. Jadi, Rima mendoakan agar CEO-nya terkena panu, kadas, kurap, dan kutil di seluruh tubuhnya agar dia tahu azab dari menghalangi hak para wanita untuk tampil feminin.
“Kebiasaan! Ketuk pintu dulu kalau mau masuk ruanganku, Vano!”
Pemuda bernama Vano itu tertawa sembari menggaruk tengkuknya. “Maaf, Tante, maaf. Buru-buru soalnya tuh Mr. Krabs udah marah-marah di divisi Keuangan.”
Sonya mengurut kening sementara Rima masih betah menjadi penonton di antara mereka. Kalau dia lihat lebih jelas, pemuda bernama Vano ini cukup tampan juga. Ya ampun, jaringannya mendadak 5G hanya karena melihat pria tampan.
“Kamu tahan dia sebentar, gak liat penampilan orangnya kayak gimana? Mau dia makin marah?” kata Sonya sambil menunjuk Rima dan membuat pemuda itu ikut menatapnya.
Pemuda itu tersenyum dan matanya juga ikut tersenyum. Ya ampun, lucu sekali. “Halo, Kak!”
Sonya menyerahkan berkas di tangannya pada pemuda itu sambil berkacak pinggang.
“Kamu kasih ini sama si Pelit itu, dan Rima, kamu ikut aku sebentar, ya! Bahaya kalau dia liat kamu kayak gini.”
Rima mengangguk patuh dan berdiri dari duduknya. Belum dia mengikuti langkah wanita bertubuh tinggi itu, orang lain sudah lebih dulu membuat mereka terkejut dengan menggebrak keras pintu tanpa dosa yang kini menampilkan sosok pria dengan penampilan yang berantakan.
Tunggu! Rima pernah melihat pria itu.
“MANA MANAJER KEUANGAN YANG BARU?!”
Sonya dan Vano kompak menunjuk ke arah Rima sementara dia masih menyelisik gaya khas pengusaha muda yang tadi ditemuinya di koridor, yang mendadak berubah bak gembel baru. Dilihat dari tingkah dua orang ini yang tidak melawan, jangan katakan pada Rima kalau pria ini adalah CEO-nya?
Pria itu berkacak pinggang dan berjalan ke arahnya dengan tatapan tajam. Tubuh Rima gemetar sekarang. Lebih baik dia menghadapi sapi yang mengamuk daripada atasan yang mengamuk. Tentu saja karena sapi bukan makhluk yang mendendam.
“Ternyata gak harus nunggu besok ya buat ngehukum kamu!”
Rima menunduk dalam. Menatap sandal jepit hijau yang pria di depannya pakai. Yakin dia CEO? Bukan OB?
“Kamu tau hukuman apa yang saya kasih buat orang kayak kamu?!”
Gadis itu terpojok dan tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Vano dan Sonya juga tampak tak bisa membantunya sama sekali. Padahal dia berada dalam masalah gara-gara pria bernama Yuda! Pria itu belum tahu akibat dari membuat anak juragan ternak terancam bahkan kena hukuman di hari pertama. Mungkin Rima akan membombardir rumah pria itu dengan kotoran sapi secepatnya.
“Ma-maaf, Pak. Sa-saya—”
“No excuse! Kalau kamu mau ngelanggar perintah, silakan keluar dan bangun perusahaanmu sendiri!”
Pria itu menghela napas kasar dan berbalik badan membelakangi Rima yang hampir sesenggukan. Jika saja dia tak sedang mendendam, mungkin sekarang Rima sudah menangis.
“Ikut ke ruangan saya sekarang! Anak baru!”
Rima menatap Vano dan Sonya penuh harap meminta bantuan. Namun mereka angkat tangan dan memintanya untuk menuruti langkah sandal jepit pria itu.
Demi sapi-sapi montok yang berlenggak-lenggok di pematang sawah, Rima butuh bantuan sekarang!
Dirinya masih lajang dan belum punya gaji, tolong selamatkan hidup dan masa depannya!
***
Lanjut baca bab lainnya di https://bit.ly/OhMyOffice Di Cabaca ada jam baca gratis setiap pukul 12.00-13.00 WIB dan 21.00-22.00 WIB loh! Installnya di bit.ly/appCabaca ya! (Aplikasinya ringan banget! Cuma 9 MB) Rasain bedanya kualitas novel terkurasi!