Novel Past Future by ika nulis

Novel Past Future by ika nulis Kehidupan pernikahan Reiswara Andrea berada di ambang keretakan. Dengan menikah ia pikir hidupnya akan menjadi lebih bahagia, tapi ternyata malah sebaliknya. Ia gagal mendapatkan posisi karier impiannya. Belum lagi kondisi sang ayah yang tak kunjung sehat pun semakin menguras tabungannya. Sementara rencana pendirian usaha dengan suaminya masih jalan di tempat. Rei menyalahkan suaminya atas semua hal buruk hingga membuat suaminya pergi dari rumah.

Akhirnya Rei fokus untuk merebut karier impiannya dengan segala cara. Namun, pertemuannya dengan seorang gadis kecil membuatnya terjebak di dalam alam pikiran bawah sadarnya. Ia harus mengulang menjalani hari-hari pada usia-usia krusial di hidupnya. Sekali lagi, ia harus menghadapi mantan pacar, cinta pertama, dan kehidupan di masa lampau yang sudah lama terlupakan. Perjalanan itu membuat Rei hidup bersama raganya di masa lalu.

Merasa frustrasi karena tidak mampu melakukan apa pun untuk mengubah masa lalu, Rei mencoba membangunkan dirinya sendiri. Namun, semakin dia mencoba bangun, dirinya semakin terpuruk jauh ke masa lalu. Semakin hari, Rei semakin tidak yakin apakah dirinya bisa kembali ke raganya di masa kini atau terjebak selamanya di masa lalu.

Bab 1 Novel Past Future

Rei memukul kemudinya dengan keras. “Sialan! Harusnya aku yang lebih pantas!” umpatnya gusar. Ia benar-benar merasa tak terima dengan kenyataan.

Mata Rei menyipit murka ketika membaca pesan dari atasannya. Pesan yang menampilkan urutan peringkat cabang berdasarkan pencapaian omzet. Surabaya nomor satu. Ia mencengkeram tasnya dan melemparkannya ke jok samping. Jarinya tak sabar membuka akun media sosial salah satu rekan sekretarisnya. Bibirnya melengkungkan senyuman mencibir, sementara tangannya mengepal. Rasa panas mulai membakar kepalanya.

Bagaimana mungkin manajemen lebih memilih orang sepertinya sebagai sekretaris holding?

“Ini enggak adil.” Tangannya beralih menggebrak kaca jendela.

Ia sudah menunjukkan prestasinya dengan membantu menaikkan omzet cabang Surabaya. Ia berhasil menggaet kembali para arsitek dan kontraktor potensial yang sempat vakum pembelian di kantornya. Tapi, mengapa anak kemarin sore itu yang dipromosikan? Rei yang mengajari anak itu waktu dia diterima bekerja. Dan ia tahu bahwa dirinya jauh lebih kompeten.

“Kalian buta!” teriaknya.

Ia sungguh merasa telah diinjak oleh juniornya. Seorang wanita sanguinis yang hobinya mengunggah status. Bisa-bisanya anak itu bersantai dengan bebas itu malah berhasil, sedangkan dirinya harus berjuang lebih keras justru harus menelan kegagalan.

“Akan kubuat kau didepak,” bisiknya tak berperasaan.

Setelah puas memaki-maki, ia menarik napas dalam-dalam. “Aku enggak akan nyerah. Lihat aja nanti,” desisnya sembari merapikan rambut pendek selehernya. Ia harus tetap kelihatan sempurna di depan orang yang akan ditemuinya. Citranya harus tetap terjaga jika ingin mendapatkan atensi yang positif. Reiswara Andrea tidak boleh terlihat berantakan.

Dengan memasang wajah penuh semangat, ia pun turun dari mobil. Kakinya melangkah dengan mantap memasuki sebuah studio arsitek. Baru saja Rei memasuki ruang depan ketika matanya menangkap senyuman seorang pria bercambang tipis di seberangnya. “Pas sekali, Rei. Saya juga baru datang.”

“Saya yang kepagian berarti, Pak.” Rei melemparkan senyuman manis pada Zefa Setyabudhi, pemilik ZS Architect and Interior Design. Salah satu arsitek yang namanya masuk ke dalam daftar sepuluh arsitek terbaik di Jawa Timur. Sungguh kesempatan langka bisa bertemu langsung dengannya, mengingat banyaknya daftar proyek besar yang harus dia tangani bulan ini.

“Saya justru lebih suka ditunggu,” ujar Zefa kalem, masih dengan senyuman menawannya. “Langsung ke ruangan saya aja, ya.”

Rei pun mengikuti pria bertubuh atletis itu ke arah belakang ruangan. Dengan sekali menyapukan pandang, ia bisa mengenali material keramik yang tersusun di dinding; buatan Spanyol. Dan lantainya yang mampu meredam suara sepatu hak tentunya terbuat dari batu granit asli bukan pabrikasi. Orang kaya gampang bener ngehamburin duit, komentarnya dalam hati.

"Oh iya, Rei. Proyek ini kamu sendiri yang pegang, kan?” Zefa membuka pintu dan mempersilakan Rei masuk.

“Harapan saya begitu, tapi sayangnya belum diberikan kesempatan, Pak.” Rei mengatur ekspresi sekecewa mungkin. Ia harus mendapat simpati dari orang ini. Karena dia bisa digunakan sebagai senjata ancaman yang cukup ampuh.

“Saya maunya kamu yang urus proyek ini sampai selesai, Rei.” Alis mata Zefa bertaut. “Saya cancel kalau sampai dioper ke yang lain.”

Rei mengurai senyuman pasrah. “Saya usahakan tidak, Pak. Tapi Bapak tahu kan, keputusan tetap kembali ke showroom manager.”

Zefa mendecakkan lidah. “Saya yang akan bicara sama manager-mu. Kamu enggak masalah, kan?” Pria berkemeja batik itu langsung membuka ponselnya, bersiap menelepon seseorang.

Rei menyambutnya dengan anggukan.

Bagus. Aku punya satu kartu lagi, batin Rei puas. Ia akan membuktikan bahwa manajemen telah melakukan kesalahan besar karena tak memilihnya. Ya, mereka salah besar telah menyia-nyiakan potensinya.

***

Rei masuk ke dalam kamarnya dengan pikiran yang masih dipenuhi kilasan-kilasan kejadian hari ini. Perasaan tidak ikhlas itu menyiksa dirinya. Ia menghela napas sambil menjepit poni rambut cokelat gelapnya. Tangannya baru menuang cairan pembersih make-up saat terdengar pintu gerbang bergeser terbuka. Dari suara derum mesin mobil yang memasuki garasi, ia tahu bahwa suaminya pulang tepat waktu sore ini.

Varendra Elias adalah pria yang menikahinya dua tahun yang lalu. Seorang kepala divisi hardware di sebuah perusahaan perangkat lunak. Pekerjaan itu membuat Varen sering pergi ke luar kota untuk mengunjungi klien-klien yang memakai jasa aplikasi dari tempatnya bekerja.

“Baru pulang, Sayang?” Wajah Varen muncul di depan pintu kamar.

Rei yang sibuk menghapus eyeliner-nya tak menjawab sapaan suaminya. Ia sedang tak ingin diajak bicara. Namun, pria berkemeja hitam itu malah menghampirinya—bisa terlihat dari pantulan kaca meja riasnya. Varen menyentuh pundaknya, lalu menunduk untuk mengecup puncak kepalanya.

“Kenapa mukanya ditekuk?” tanyanya sembari mengerling ke kaca.

Rei masih terus mengusapkan kapas di wajahnya. Dan saat itu ciuman lembut mendarat di tengkuknya. Tangan Rei membeku di pipinya. Ia bisa merasakan napas Varen yang hangat di dekat telinganya. Rei pun memejamkan mata saat bibir Varen kembali menyapu lembut setiap senti kulit lehernya. Rei menelan ludah, mencoba untuk bisa sedikit terlena dengan sentuhan suaminya, tapi emosi yang telanjur bersemayam di dalam hatinya justru melakukan penolakan.

Tanpa berkata apa-apa Rei bangkit dari duduknya. Ia melempar kapasnya di meja dan berbalik menghadap Varen. “Jadi gimana? Sempet survei rute baru, enggak?”

Varen menghela napas. Mata jernihnya menatap wajah Rei. “Belum ada waktu. Lain kali kalau agendanya enggak padat aku pasti sempatkan survei.” Varen kembali mendekat. Jemari panjangnya menyingkirkan beberapa helai rambut yang menempel di pipi Rei, kemudian bergerak mengusap bibir bawah istrinya itu. “Kita bicara pekerjaan nanti, ya,” ucapnya pelan.

Pria dengan tinggi 178 cm itu merengkuh pinggangnya. Rei tak bisa menghindar dari dekapan tangan kokoh suaminya. Ia baru akan membuka mulut ketika Varen mengecup bibirnya. Rei tahu bahwa Varen sedang menginginkannya. Dari tatapan matanya, Rei bisa membaca kerinduan Varen. Tapi entah mengapa, ia tak bisa merasakan hal yang sama. Dan ia tak bisa membalas ciuman Varen yang intens itu.

Perlahan Rei memalingkan wajahnya. Gerakannya itu membuat Varen mengendurkan pelukannya. “Kenapa Rei?” gumamnya lirih.

“Aku ingin bicara sekarang,” kata Rei tegas.

Varen menampakkan ekspresi kecewa. Ada guratan rasa lelah yang tergambar di wajahnya. Seketika tangannya melepaskan Rei. “Aku baru pulang. Tolong kasih aku jeda sebentar, Rei,” ujarnya pelan seraya membalikkan badan.

“Impian kita udah tertunda lama, Varen. Kita terlalu bersantai selama ini,” tandas Rei, bersandar di depan meja riasnya. “Bukankah persiapan kita harusnya udah mencapai lima puluh persen?”

Varen kembali menoleh. “Bukan impian kita, tapi impian kamu. Aku cuma berusaha mewujudkan apa yang kamu mau.”

“Apa kamu bilang barusan?” tanya Rei tak percaya.

Suaminya itu memijat keningnya. “Rei, enggak mudah buat mengeksekusi sebuah rencana usaha. Memang betul, aku punya banyak link, tapi untuk fokus ke sana kita belum mampu. Waktu kita tersita terlalu banyak di kantor. Bersabarlah sedikit. Aku akan coba cari orang yang paham bisnis travel buat bantu kita.”

Rei mendecakkan lidah. “Yah, kamu benar. Untuk pulang ke rumah saja kamu kadang enggak sempat. Harusnya aku yang melakukannya sendiri sejak awal.”

Varen memandangnya dengan kening berkerut. “Kamu ini kenapa, sih? Akhir-akhir ini selalu cari ribut. Ada masalah apa di kantor?”

Rasa sesal yang menumpuk di dalam dada terasa makin menggelora. Rei mengepalkan tangannya. “Aku gagal dapat promosi itu. Mereka lebih memilih anak kecil itu.”

“Oke. Lalu salahku di mana sampai kamu terus-terusan ngamuk enggak jelas di rumah?” tanya Varen tak habis pikir. Pandangan matanya sudah tak selembut tadi.

Rei menatap pria di depannya dengan tenggorokan tersekat. Ia benar-benar telah dikuasai ketidakpuasan. “Statusku yang sudah berkeluarga membuat mereka berpikir dua kali.”

Varen terdiam sesaat, lalu berkata pelan, “Kamu menyesali pernikahan ini?”

“Iya,” jawab Rei dengan suara bergetar. “Aku menyesali keputusanku.”

Kekecewaan makin terlukis jelas di wajah Varen. Suaminya itu sudah akan membuka mulut, tapi dia urungkan. Perlahan dia berbalik meninggalkan kamar. Rei yang belum puas menumpahkan emosinya menjadi makin marah karena sikap Varen yang langsung pergi.

“Mau ke mana kamu? Balik lagi ke kantor?” tuntut Rei, berusaha mengejar Varen sampai ke ruang tengah.

“Ke mana aja asal enggak di sini.” Varen meneruskan langkah tanpa berhenti.

“Bagus. Jangan pulang sekalian,” sindir Rei dingin.

“Terus kamu maunya apa?” Varen mendadak kembali berbalik. Nada suaranya meninggi. “Kamu enggak mau lihat aku, kan? Apa gunanya aku tetap di sini?”

Rei melebarkan pupil matanya karena kaget. Kakinya membeku di tempatnya berdiri.

“Asal kamu tahu, Rei. Selama ini aku yang selalu berusaha ngalah sama kamu, nurutin semua keinginan kamu. Tapi kamu malah bilang apa? Menyesal? Paham enggak, gimana rasanya jadi aku sekarang? Sakit, Rei,” lanjut Varen tanpa jeda.

Baru kali ini, Rei melihat Varen semarah itu. Wajahnya merah padam, kelopak matanya tampak berair. Dan tatapannya penuh kesakitan. “Dengar, Rei. Aku sama sekali enggak pernah maksa kamu buat nikah sama aku. Kamu sendiri yang mengatakan kalau hidup bersamaku bisa membuatmu bahagia.”

“Itu dulu.” Kata-kata itu terlontar begitu saja dari mulut Rei. “Tapi, ternyata enggak. Aku enggak menemukan apa yang kucari.”

Varen menelan ludah. “Kamu terlalu sibuk mencari destinasi tanpa berusaha menikmati perjalanannya.” Dan dia pun berbalik ke arah pintu. “Pikirkan lagi keputusanmu. Mungkin sejak awal kita memang salah langkah.”

Perkataan Varen membuat perasaan Rei bergejolak tak tentu arah. Ia tak bisa memahami kemauan hatinya sendiri. Dengan kegelisahan yang memuncak, tanpa sadar Rei menyapukan tangan ke arah benda-benda yang terpajang di lemari laci. Pigura-pigura kecil, vas bunga dan tumpukan kertas langsung berhamburan di atas lantai.

“Kalian semua enggak berguna!” jerit Rei, sebelum terbenam dalam isaknya. Ia berjongkok di antara pecahan beling yang berserakan di ruang tengah.

Di aplikasi Cabaca ada banyak novel romantis yang dibalut dengan genre fantasi kayak novel Past Future ini loh! Yuk, cari novel Indonesia berkualitas beragam genre  mulai dari magical realism, new adult, hingga novel tentang pernikahan hanya di Cabaca. Setiap hari ada Jam Baca Nasional yang bisa dimanfaatkan untuk baca novel online gratis, yaitu mulai pukul 21.00 - 22.00 WIB. Tapi, hanya bisa dilakukan di aplikasi. Yuk, install Cabaca di Play Store.

Baca Juga Novel Serupa Past Future: