Novel Ready for Tiffany by Revelrebel

Bab 1
Being Thirty Without a Diamond on My Finger
Amanda
Aku melempar tote bag berlogo dua huruf C yang saling mengait ke atas meja, kemudian mengempaskan tubuh di atas kursi berlapis kulit hitam. Sambil memijit kening, aku memutar kursi menghadap ke jendela. Pemandangan langit biru Jakarta membentang di hadapanku. Seharusnya pemandangan ini mampu menenangkanku, atau setidaknya meredakan sakit kepala. Namun nyatanya kepalaku masih berdenyut.
“Pagi, Bu Amanda.”
Sapaan ringan Lulu, sekretarisku, hanya kutanggapi dengan dengung singkat. Tanganku masih sibuk memijit kening. Pagi-pagi begini, di hari Senin, sungguh bukan saat yang tepat untuk dibuat pusing oleh masalah pribadi. Semuanya gara-gara Lucas. Setelah satu bulan dia membiarkanku menyiapkan semua hal terkait anniversary, dengan enteng dia membatalkannya begitu saja. Pagi-pagi buta, ketika aku sedang terburu-buru ke kantor. Lucas memang selalu tahu saat yang tepat untuk menghancurkan mood.
Sekarang, di depan Lulu yang menyebutkan jadwalku seharian ini, yang ada di otakku hanyalah memborbardir Lucas dengan semua protes yang sudah kususun. Sayangnya, itu semua hanya bisa terjadi di khayalanku saja. He’s not here.
Ya, Lucas-ku tersayang masih sibuk berkutat dengan pekerjaannya di Pekanbaru dan membatalkan kepulangannya ke Jakarta karena ada urusan pekerjaan. Bisa-bisanya dia menomorduakan aku, pacarnya selama lima tahun ini, hanya demi pekerjaan? Silly. Dan, apa katanya tadi? Bahwa aku akan mengorbankan dirinya kalau menyangkut pekerjaan? Yang benar saja. Aku dua kali menolak tugas keluar kota hanya untuk memastikan perayaan kecil-kecilan yang kubuat ini berjalan sempurna. Bagaimanapun, selain fifth anniversary Lucas and Amanda, perayaan ini juga demi ulang tahunnya. Ulang tahunnya, bukan ulang tahunku. Bisa-bisanya dia tidak menghargai jerih payahku.
Aku menghela napas berat dan menyadari denyut di kepalaku semakin menjadi-jadi.
“I need coffee,” seruku tiba-tiba, membuat Lulu yang sedang asyik membacakan jadwalku ternganga seketika.
“Kopi?”
“Iya, kopi. Cairan hitam pekat yang bisa menghilangkan sakit kepala.”
“Maksud saya, sejak kapan Bu Amanda minum kopi pagi-pagi? Biasanya Ibu minum teh herbal.” Lulu menunjuk secangkir teh dengan asap mengepul yang ada di mejaku.
Aku mengernyit, semakin merasa pusing berkat sapaan “Ibu” itu. Sudah lama aku mencegah Lulu atau siapa saja memanggilku “Ibu”, tapi mereka tidak pernah mengacuhkannya. Panggilan itu membuatku merasa tua. Sangat tua. Dan aku benci kata itu.
“Whatever. I need coffee,” tegasku.
Menyadari nada suaraku mulai meninggi, Lulu langsung angkat kaki dari ruanganku. Dia bahkan tidak perlu repot-repot menyelesaikan tugasnya membacakan jadwalku hari ini.
Sepeninggal Lulu, aku mengecek ponsel. Berharap ada pesan dari Lucas yang mengabarkan dia berubah pikiran. Namun layar ponselku kosong. Hanya ada reminder yang mengingatkanku pada taruhan sinting yang diutarakan Brit minggu lalu.
Tiffany Embrace terbayang di ingatanku. Cincin yang mewarnai mimpiku beberapa hari terakhir. Semula aku tidak mengindahkan taruhan Brit. Well, Brit is always be Brit. She always has a crazy idea. Kali ini dia datang dengan ide pertaruhan menjadi yang nomor satu mendapatkan Tiffany Embrace. Setelah malam itu, aku tidak bisa tidur karena terus teringat taruhan ini. Diam-diam aku menyetujuinya. Look at me. A 31 years old success woman but still single. Status yang sering kali membuatku sering dipandang sebelah mata. Terlebih, aku punya Lucas.
Lucas Alamsjah, eksekutif di Parish Walter oil and gas company yang tentunya menempati urutan pertama calon suami idaman. Lucas yang sudah menjadi pacarku selama lima tahun terakhir. Namun, hubungan ini stuck di tempat. Tidak menunjukkan tanda-tanda akan maju ke tahap yang lain. Banyak yang mempertanyakan, apa lagi yang kami tunggu?
Well, aku juga mempertanyakan hal yang sama, apa lagi yang ditunggu oleh Lucas? Career? Check. Mapan? Check. Love each other? Double check. Ready to married? Yeah, I think I’m ready. Restu orang tua? Sejak awal hal ini sudah kami dapatkan. Lalu penghalangnya? Well, the distance between us. Lucas yang terlalu mendewakan pekerjaan dan aku yang juga tidak sudi melepas pekerjaanku. Akibatnya, kami selalu terbentur akan hal ini.
But I’m a woman. I have my biological clock. Jika laki-laki bisa bebas menunda pernikahan sampai kapan pun yang mereka inginkan karena memang tidak ada expired date di diri mereka, lain halnya denganku dan kaumku, perempuan. Biological clock yang semakin lama semakin nyaring terdengar. Aku tidak bisa membayangkan diriku masih melajang sampai biological clock di tubuhku berdering kencang pertanda sudah melewati masa tenggang. Shit, that is my biggest fear.
Namun sayangnya pacarku tersayang itu seolah tidak peduli.
Pikiranku tersita akibat kedatangan Lulu. Dia berjalan pelan menghampiri mejaku dengan secangkir kopi hitam dan asap mengepul. Actually, I’m not a coffee addict. Tidak seperti Tika yang tidak pernah bisa hidup tanpa kopi. Hanya saja, mengutip ucapan Tika yang menyatakan kopi bisa menyembuhkan migrain di kala dia terserang deadline, well, tidak ada salahnya mencobanya pagi ini. Mungkin saja resep Tika manjur untukku.
Lulu meletakkan kopi itu di mejaku, tepat di depan mataku. Cairan hitam pekat itu membuatku mengernyit. Well, I think this is a bad idea.
Setelah meletakkan cangkir kopi, Lulu meletakkan sebuah benda persegi berwarna cokelat emas di atas mejaku. “Undangan dari Zara.”
Aku mendelik. “Undangan?”
Lulu mengangguk. “Pernikahan Zara.”
Oh shit. Ingin rasanya membanting sesuatu untuk melampiaskan emosi yang tiba-tiba mengungkungku ini.
Lulu langsung pamit dari ruanganku begitu melihat perubahan wajahku. Tidak lupa dia kembali mengingatkanku tentang rapat siang ini. Namun aku tidak peduli karena sekarang, di hadapanku, undangan cokelat itu seolah tersenyum mengejek.
Zara, karyawanku yang baru bekerja sejak dua tahun lalu. She’s young, energetic, and beautiful. Persis seperti diriku beberapa tahun lalu. Zara yang tampak merekah dalam usia mudanya dan tak henti-hentinya berceloteh tentang pacarnya yang sempurna. Meski tidak dekat dengan dirinya, aku tidak bisa menulikan telinga dari ceritanya. Termasuk ketika dia dilamar dua bulan yang lalu.
Sekarang di hadapanku ada undangan Zara. Sial, harusnya aku yang menyebarkan undangan itu, bukan Zara. She has a time, masih banyak waktu untuknya, tidak sepertiku yang sudah hampir sampai usia deadline.
Saat sedang mengutuk undangan Zara, ponselku berbunyi. Kembali harapan bahwa Lucas akan menghubungi membuatku sedikit tersenyum. Namun senyumku hilang saat melihat nama Brit di layar ponsel.
“Morning, Brit,” sapaku datar.
[Hello, darling. How’s your Monday morning?] This is Brit, si ceria yang seolah tidak memiliki permasalahan apa pun dalam hidupnya. Gaya hidup Brit yang go with the flow selalu membuatku merasa iri. Dia seumuran denganku. Alih-alih ikut stres karena biological clock yang semakin gencar berdentang, Brit malah masih asyik berganti pasangan. Tua muda dari beragam profesi antre di belakangnya. And she enjoys it.
“Bad.”
[Let me guest, Lucas or your bossy boss?]
“Lucas.”
Tawa nyaring Brit terdengar di seberang sana. Aku bisa menebak, pagi ini Brit masih asyik bermalas-malasan di rumahnya sambil memilih kuteks warna apa yang akan dikenakannya. Satu lagi yang membuatku iri, dia tidak harus menjadi kacung selama delapan jam sehari. She is the boss. Dia menjadi bos untuk dirinya sendiri. Well, meski titelku sangat membanggakan, senior manager public relation The Peak Hotel Jakarta, tetap saja aku hanya seorang bawahan. I’m not the boss.
[Kenapa lagi dia?]
Aku menghela napas berat. Meski merasa berterima kasih atas kepedulian Brit, aku tidak ingin memperparah mood yang sudah sangat drop pagi ini. “Biasa. Lebih memilih bercokol di Pekanbaru daripada pacaran sama gue di Jakarta.”
Sekali lagi suara tawa nyaring Brit menyapu pendengaranku. [Well, sebaiknya lo manfaatin waktu delapan bulan ini buat maksa dia ngelamar lo atau dia bakal nyesel. Amanda Hapsari disia-siain.]
Mau tidak mau aku ikut tertawa mendengarnya. Brit memang dianugerahi kemampuan membuat orang lain tertular suasana hatinya. Pagi ini, sikap santai Brit sedikit menulariku, membuatku berhenti memijit kening.
Namun ketika mataku menyapu undangan Zara, kembali aku dilanda stres.
“Karyawan gue mau nikah. You know what? She’s still 24. It’s too young to get married.”
[Never said too young to get married, honey, karena kebalikannya adalah, too old being single.]
“Damn you.” Aku terkikik. Sebenarnya, ucapan Brit menyindirku—juga menyindir dirinya sendiri. Namun suara tawanya yang mengikik itu membuatku tidak bisa marah. “Tapi tetap saja, buat gue dia terlalu muda buat nikah.”
[No, honey, gue mendengar seseorang lagi jealous di sini.]
Mungkin aku cemburu. Tidak, bisa dipastikan aku sangat cemburu saat ini. Zara masih 24 tahun. Aku 30 tahun. Why life is so unfair?
“Dia masih muda Brit. Dia masih bisa menunggu satu atau dua tahun lagi. Belum saatnya karena di sini, masih ada gue yang single. Demi Tuhan, dia enggak perlu mikirin selulit, wrinkles, atau horny tiap malam kayak gue, kan?”
[Ugh, Man, don’t say that.]
Aku benci mendengar ucapanku sendiri—sama bencinya mendengar Brit memanggilku “Man”. Memangnya aku laki-laki?
“But it’s reality.”
[Yeah and reality bites.] Tidak ada tawa di akhir ucapan Brit dan kuyakin dia sudah mulai serius. [Makanya gue mengajak lo dan Tika buat join di taruhan itu. Kita udah 30 di tahun ini. Kita makin tua dan akan banyak perempuan muda yang menjadi saingan. Ugh, I hate to say that but I have to say it. Amanda, kita harus serius jadiin tahun ini sebagai tahun terakhir kita being a single woman. What do you think?]
“I follow you.” Aku berkata tegas, setegas yang sering kutampilkan di setiap presentasi. Meski ketika pertama kali mendengar ide ini ada pertentangan di hatiku, sekarang pertentangan itu menguap begitu saja. “Gue juga sudah bosan ditanyain kapan nikah padahal di sebelah gue jelas-jelas ada Lucas yang memenuhi predikat suami idaman.”
Brit tertawa. [Honey, lo selangkah lebih maju di atas gue.]
“But you’re the Brit. The Brit yang punya segala macam cara untuk menang,”
[Yes, I am.]
Ketukan di pintu mengalihkan perhatianku dari ucapan Brit yang membanggakan dirinya di telepon. Aku mendongak dan melihat Lulu menunjuk jam tangan dan ruang meeting secara bergantian.
“Brit, gotta go. Ada meeting.”
[Okay. Gue juga harus siap-siap untuk taping Bachelor and Bachelorette. You know what? Gue benci acara ini. Semakin mempertegas status single gue.]
Aku tertawa pelan. “Well, mungkin aja di sana lo ketemu the most eligible bachelor.”
[Yeah, I hope so.]
**************
Lanjut baca bab lainnya disini.
Di Cabaca ada jam baca gratis setiap pukul 12.00-13.00 WIB dan 21.00-22.00 WIB loh! Installnya di bit.ly/appCabaca ya! (Aplikasinya ringan banget! Cuma 9 MB) Rasain bedanya kualitas novel terkurasi!