Novel Single Mother Club by Robin Wijaya

Novel Single Mother Club by Robin Wijaya
Photo by Alexander Grey / Unsplash

Novel Single Mother Club by Robin Wijaya – Sarah baru saja bercerai dan berjuang untuk memulai hidup baru.

Alma merawat anak autisnya setelah kehilangan suaminya dalam kecelakaan mobil.

Bella berusaha melawan stigma dan mengalami kesulitan finansial setelah melahirkan anak tanpa suami.

Aisha berusaha mengatasi perasaan kesepian setelah suaminya pergi tanpa pamit.

Kania berjuang dengan penyakit lupus yang membatasi aktivitasnya dan harus membesarkan anaknya di tengah kondisi kesehatannya yang tidak menentu.

Dunia yang tidak pernah ramah pada ibu tunggal mendorong kelimanya untuk bergabung dalam Single Mother Club. Katanya grup ini bisa dimanfaatkan untuk saling memberikan dukungan karena mereka ada di situasi yang sama.

Namun, mampukah kelimanya menghadapi badai kehidupan dan bisa saling menguatkan?

Teaser Novel Single Mother Club

Sarah meletakkan pena yang ia gunakan untuk menanda tangani dokumen kesepakatan antara ia dan perempuan berambut pirang yang duduk di sebelahnya. Tak ada tatapan ramah maupun kata-kata bersahabat yang muncul dari perempuan itu. Uluran tangan Sarah kepadanya pun menggantung di udara tanpa sambutan. Bak sikap tulus yang bertepuk sebelah tangan. Kelakuan perempuan itu membuat emosi Sarah kembali naik. Padahal awalnya Sarah sudah bertekad untuk berlapang dada saat menghadapi kasus perkelahian antara Adam—anaknya dan putra perempuan berambut pirang itu,

Untungnya Sarah masih mengerti sopan santun. Ia meninggalkan ruang guru BP dengan kata ‘permisi’. Di luar ruangan, Adam tengah duduk menunggu. Wajah anak kelas sembilan itu masih sarat emosi. Pipinya yang memar serta kancing baju yang terlepas menjelaskan seperti apa perkelahian yang terjadi sekalipun Sarah sudah diperlihatkan rekaman CCTV tadi.

“Ma, bukan aku yang mulai duluan.” Adam berusaha menjelaskan, tetapi Sarah mengacuhkannya.

“Kita bahas nanti di rumah,” ujar Sarah. Selain enggan membahas hal ini di sekolah, Sarah juga merasa tak nyaman dengan perempuan berambut pirang itu yang sekarang sedang mengomeli putranya.

Sarah tahu, omelan perempuan itu tidak ditujukan pada anaknya, melainkan untuk Adam dan Sarah. Jika bukan karena alasan tersebut, maka untuk apa perempuan itu bicara keras-keras hingga suaranya terdengar begitu jelas di telinga Sarah.

Mungkin jika bukan kata-kata itu yang keluar dari mulut si perempuan pirang, Sarah bisa saja bersikap tak peduli. Sialnya, perempuan itu melibatkan topik paling sensitif bagi Sarah, bahwa anaknya membuat onar karena kurang kasih sayang seorang ayah.

Mendengar itu, Sarah tak pikir panjang lagi. Ia langsung hengkang dari gedung sekolah ini, meninggalkan Adam yang tergesa-gesa berusaha mengejarnya.

* * *

Alma tiba di day care dengan terburu-buru. Seorang staf mengecek pick up pass yang dibawa Alma dan mengantarkannya ke ruang medis tempat Kevin berada sekarang. Ia dikabari kalau anaknya demam sejak tadi siang. Seharusnya Alma memang langsung menjemputnya, karena peraturan di day care menetapkan jika anak yang dititipkan sakit, maka harus segera dibawa pulang untuk menghindari terjadinya penularan pada anak-anak lain. Namun karena alasan pekerjaan, Alma terlambat hingga lebih dari satu jam lamanya.

Alma langsung menggendong Kevin dan baru hendak bersiap membawanya pulang ketika seorang staf day care lainnya memanggil Alma dan menahannya sejenak.

“Bu Alma maaf, saya harus sampaikan soal penalti.”

“Penalti?”

“Iya, Ibu sudah telat menjemput lebih dari satu jam. Peraturan batas waktu menjemput maksimal tiga puluh menit sejak kami menelepon.”

“Saya nggak tahu loh ada peraturan itu.” Alma berpura-pura tidak tahu dan berharap ketidak tahuannya itu akan membuatnya aman. Namun nyatanya, pihak day care tak peduli.

“Ada di surat persetujuan orang tua, Bu Alma. Di poin nomor 9c, tentang prosedur penjemputan. Dan ada lagi di poin nomor 12 tentang anak yang terindikasi sakit.”

“Terus, saya harus gimana?” tanya Alma, ia mulai cemas sekarang.

“Ibu dikenai denda penalti sebesar satu bulan biaya.”

“Wah besar sekali, ya? Kalau saya minta keringanan apa nggak bisa?” tanya Alma kembali.

“Maaf, Bu. Pilihannya hanya membayar penalti, atau status keanggotaan Bu Alma dinon aktifkan.”

Alma menjerit dalam hati. Tak adakah yang bisa mengerti keadaan dirinya dan kondisi yang ia alami? Ia sudah merasa cukup lelah mengurus dan menghidupi Kevin seorang diri. Dan sekarang, muncul lagi masalah ini?

* * *

Mungkin daripada menanggung rasa sakit dan malu sekaligus, lebih baik jika aku mati saja. Bella berucap dalam hati.

Selain cahaya lampu di langit-langit, ia belum melihat siapapun lagi di ruangan ini. Alex, sepupunya juga tak terlihat sejak tadi. Mungkin lelaki itu sedang mengurus administrasi. Dan jangan tanyakan di mana kedua orang tuanya. Bella tak mengharapkan orang tuanya hadir saat ini. Ia sadar diri, kesalahan apa yang telah diperbuatnya. Masih bisa hidup sampai hari ini tanpa saja ia merasa sudah bersyukur sekali.

Seorang dokter dan perawat yang masuk ke ruangan sedikit mengejutkan Bella. Keningnya yang penuh keringat dingin menatap kehadiran dokter lelaki yang hidung dan mulutnya terselubung masker berwarna hijau. Dokter itu melirik arloji di pergelangan tangannya.

“Kita periksa pembukaannya sekitar satu jam lagi ya, Bu,” terang dokter itu.

“Harus nunggu satu jam lagi, Dok?” tanya Bella. “Nggak bisa cek sekarang aja? Perut saya sudah sakit banget,” ujar Bella, gemetar.

Dokter itu menggeleng. “Belum waktunya,” jawabnya. “Nanti, siapa yang akan menemani di ruangan? Cuma boleh satu orang ya. Suaminya boleh.”

Suami? jerit Bella. Ia bahkan tak tahu siapa ayah dari bayi dalam perutnya ini. Apalagi suami. Jadi, harus bagaimana ia sekarang?

* * *

Hari yang berbeda, penantian yang sama, dan keputus asaan yang kian bertambah. Aisha menutup pintu rumahnya ketika senja berangsur menggelap. Bukan baru satu-dua hari suaminya pergi meninggalkan rumah. Namun sejak hampir setahun terakhir, aktivitas yang ia lakukan nyaris tak berubah.

Orang bilang dirinya naif, tetapi ia sendiri masih berharap suaminya akan pulang suatu hari nanti. Seperti kedatangannya setiap kali pulang kerja. Membuka gerbang dan tersenyum sambil mengucapkan salam. Itulah yang ada di bayangan Aisha, dan itu jugalah yang terus-menerus menjadi harapannya.

Namun, hari ini sama seperti hari-hari lainnya. Hanya ada pagar yang bergeming tanpa pernah ada langkah kaki yang mendekat. Aisha menoleh dan menemukan anak semata wayangnya yang duduk menonton televisi sendirian sambil menikmati camilan kemasan.

Aisha mempertanyakan sikap dan keyakinannya selama ini. Betulkah, ia hanya terlalu berharap? Betulkah, cinta telah membuatnya begitu bodoh? Satu tahun mestinya bukan waktu yang sebentar. Satu tahun mestinya sudah cukup menjelaskan keputusan sang suami, dan apa status yang diberikan untuknya.

Satu tahun sudah lebih dari cukup. Dan mestinya, semuanya memang sudah jelas sekarang.

* * *

Minuman, tisu basah, buku iqra, dan uang saku dalam dompet kecil. Apa lagi, ya?

Sepertinya, semua barang yang dibutuhkan Kaleela sudah tersedia semua di dalam tas. Kania menarik ritsleting tas tersebut dan menyerahkannya kepada Kaleela.

“Jangan nakal, ya!” pesan Kania kepada putrinya.

Perempuan muda yang merupakan tetangga seberang rumah Kania tersenyum seraya mengulurkan tangan mengajak Kaleela ikut dengannya. Di belakang perempuan itu sudah menunggu putranya sendiri yang sebaya dengan Kaleela. Mereka dalam balutan seragam pengajian komplek setempat.

“Yakin nggak mau ikut?” tanya perempuan itu pada Kania.

Kania menggeleng lemah. “Dari pagi lemas terus nih. Takutnya nanti jatuh di masjid.”

Perempuan itu tersenyum lagi. “Ya udah kamu istirahat aja, deh. Lila sama aku.” Perempuan itu menyebut nama panggilan Kaleela seraya pamit untuk menemani kedua anak itu ke masjid.

“Titip Lila, ya.”

“Iya, Mbak. Insya Allah,” sahutnya.

Meskipun sebagian perasaan Kania merasa tenang melepas Kaleela bersama tetangganya yang baik hati itu. Namun di satu sisi, Kania juga merasa sedikit bersalah. Seandainya ia bisa melihat penampilan Kaleela di acara Perayaan Tahun Baru Hijriah hari ini. Seandainya ia tak dibatasi masalah kesehatannya sehingga bisa terus mendampingi putrinya. Dan seandainya ia bisa berumur panjang, agar Kaleela tak kehilangan satu orang tua lagi dalam hidupnya.

Daftar Isi Novel Single Mother Club

Bab 1

Mau lanjut baca novel Single Mother Club hingga tamat? Atau mau cari novel tentang perempuan lainnya? Buruan deh, install aplikasi Cabaca untuk baca novel online berkualitas di smartphone-mu! Top Up Kerang mulai dari Rp5 ribu saja, kamu bisa baca novel digital lebih nyaman dan privat. Makanya, unduh sekarang di Google Play.

Aplikasi baca novel berkualitas di Indonesia
Platform baca novel berkualitas di Indonesia


Cari novel genre lainnya? Cek aja di sini:

  1. Novel Romance
  2. Novel Dewasa
  3. Novel Komedi
  4. Novel Horor
  5. Novel Teenlit
  6. Novel Islami
  7. Novel Thriller
  8. Novel Fantasy