Novel Therapeutic by Euis Shakilaraya

Novel Therapeutic by Euis Shakilaraya Ranaya memiliki trauma yang membuatnya mengidap  gangguan panik. Dia memutuskan untuk istirahat dan berhenti bekerja. Namun satu tahun berlalu, dia mulai dicap sebagai pengangguran yang tak memiliki harapan. Padahal dia sudah mencoba banyak hal untuk mencari penghasilan dari rumah.

Rayhan yang merupakan CEO dari cabang perusahaan milik ayahnya sendiri sekaligus salah satu sahabat terbaik Ranaya, mencoba membantu agar Ranaya bisa kembali bekerja dengan mempekerjakan cewek cantik itu sebagai sekretaris pribadinya. Namun, hal itu tidak berjalan lancar saat gangguan panik Ranaya semakin hari semakin buruk. Juga kehadiran Putra sebagai seseorang yang Rayhan anggap mengganggu hubungannya dengan Ranaya membuat semuanya semakin rumit.

Ranaya yang dibayang-bayangi trauma masa lalu sekaligus permasalahan keluarganya yang bertubi-tubi, akankah dia bisa melewati semuanya? Lantas kepada siapakah cintanya akan berlabuh?

Bab 1 Novel Therapeutic

Aku menyapu pandangan ke seluruh ruangan. Tak ada satu pun yang terpikirkan kecuali petualangan baru yang akan segera dimulai. Yeah, aku akhirnya kembali bekerja setelah istirahat panjang. Ini semua karena hampir semua orang selalu menyebutku pengangguran. Meski benar, tapi mereka tak pernah tahu bagaimana usahaku untuk terus berpenghasilan meski tak sepenuhnya bekerja di luar. Aku mulai menjadi content creator untuk salah satu kedai kopi yang hits di kalangan para pebisnis lokal. Namun, kurangnya chemistry dalam bekerja sama, membuat seluruh konten yang aku buat terasa biasa saja. Aku juga mulai mengelola sebuah kelas menulis berbayar yang lumayan banyak peminatnya. Tapi semua itu, tidak lebih dianggap sebagai kesenanganku saja.

Kejadian seminggu yang lalu, membuatku akhirnya menyerah dan mulai melawan rasa sakit di hatiku sampai akhirnya tergerak untuk kembali beraktivitas dan bekerja.

1 minggu yang lalu

“Kak, lu kerja yang bener kek. Percuma sekolah tinggi-tinggi. Nilai bagus. Tapi males.” Lupakan! Lupakan saja si kurang ajar Bandi, anak laki-laki satu-satunya di keluarga ini dan diperburuk dengan predikat bungsunya. Mama diam saja. Tangannya sibuk menyiapkan roti selai untukku dan Lita, adik perempuanku. Anak kedua si paling pendiam dan T E R B U R U K, sorry, Lita. Intinya jangan pernah berurusan dengannya.

“Gue nggak males ya. Cuma lagi istirahat aja.”

“Ya harusnya kakak malu. Kakak nggak mau kan semakin tua semakin jadi beban buat Mama sama Papa?”

Aku hampir memukulnya dengan sendok kalau saja Lita tidak menghela napas mulai terganggu oleh suara Bandi.

“Oke, beban keluarga ini lebih baik pamit dan sarapan di kamar.” Aku mengangkat piring dan beranjak menghindari pertengkaran lebih lanjut. Sayup-sayup masih terdengar suara mama menegur Bandi dan papa yang seperti biasa hanya diam mengamati. Aku menyempatkan menengok situasi ruang makan dari kamarku.

“Harus sopan kalau ngomong sama kakak, Ban.”

“Tapi, Ma... Nggak bosen liat kakak setiap hari di rumah? Kakak tuh kenapa sih sebenernya? Jarang keluar rumah, disuruh kerja di kantor Papa nggak mau. Nggak ngerti lagi aku sama dia. Udahlah aku berangkat sekolah dulu. Assalamualaikum.

Terdengar Bandi menggeser kursinya untuk bangkit dan memakai helmnya siap berangkat. Lita ikut bangun.

“Ikut, Ban.”

“Nggak ya. Gue nggak mau lagi bonceng lu. Terakhir gue bonceng lu, gue kena gampar cewek nggak dikenal karena katanya lu udah ngerebut cowok dia.”

Lita menendang kaki Bandi dan merebut kunci motor dari tangan si bungsu.

“Ma! Capek banget aku sama keluarga ini.”

Bandi meringis dan segera berjalan cepat menyusul Lita. Aku duduk membuka laptop dengan tangan yang masih belepotan selai stoberi.

Tok, tok, tok....

Aku yakin mama. Buru-buru aku membuka pintu dan melihat papa sedang mengacungkan kunci motor vespa kesayangannya.

“Mau jalan-jalan ke pasar sama papa?” Aku ragu. Tapi tak berani menolak.

“Aya ambil jaket dulu.”

Aku mengambil hoodie kumal kesayanganku dan memakainya langsung agar tidak membuat papa menunggu lama.

“Ma, kirimin daftar belanjaannya lewat chat ke Aya. Biar Papa sama Aya yang belanja.”

Mama melihatku dan papa dengan tatapan yang sama dengan pikiranku. Ada apa ini? Apa seperti yang keluarga besar inginkan, papa juga ingin aku menikah? Atau papa akan memaksa aku untuk bekerja di perusahaan miliknya? Seketika aku merasa lebih baik kabur daripada berada di situasi yang sulit. Aku menatap mama meminta pertolongan. Mama mengerti dan menahan tangan papa.

“Biar mama saja yang belanja, Pa... Takutnya Aya salah beli.”

“Nda apa biar belajar, Ma.”

Sejenak aku menyesali keputusan beristirahatku. Hibernasi panjang ini membawa petaka. Aku masih belum mau menikah! Pacar saja belum punya. Hiks.

Aku menyeret langkahku dengan gontai.

***

Papa mengajak untuk duduk di taman kota dan membelikanku es krim. Keheningan melanda. Papa adalah yang paling pendiam di rumah. Sifat pendiamnya menurun ke Lita membuat kita semua enggan untuk mengajak bicara. Tapi yang dikhawatirkan dari papa bukan soal sifat pendiamnya, melainkan pemikiran-pemikiran out of the box-nya. Meski harus aku akui bahwa hal itu yang membuatnya bisa membesarkan perusahaan yang dibangunnya dari nol.

“Aya,”

Aku menengok.

“Papa tahu kamu masih enggan untuk kembali bekerja. Terlebih atas apa yang sempat kamu alami. Papa akan mencoba mengerti meski tetap nggak tahu situasinya. Saran papa, daripada kamu terus-terusan di rumah dan malah semakin banyak kesempatan yang hilang, gimana kalau kuliah lagi? Kamu mau kuliah S3 di mana? Biar papa yang biayai. Nggak usah mikirin apa-apa.”

“Kuliah lagi?”

“Iya. Kuliah di Indonesia atau luar negri?”

Aku tertegun. Aku kira papa akan memintaku untuk menikahi anak temannya atau hal buruk lainnya. Tapi dia memintaku untuk kuliah lagi. Tapi aku sudah tidak ingin melakukan apa-apa lagi. Terlebih aku tidak bisa menghadapi Lita dan Bandi yang menyeramkan jika mengetahui aku tak kembali bekerja melainkan kuliah.

“Aya cuma butuh waktu untuk istirahat sebentar, Pa. Aya akan kerja lagi kok.”

“Yakin nggak mau kuliah?”

Aku menggeleng. Kejadian satu tahun yang lalu masih hangat di pikiranku seolah baru terjadi kemarin.

***

“Gue tolak tawaran Papa. Nggak mau kerja ataupun kuliah. Semua hal duniawi mau gue tinggalin. Udah muak gue.” Setelah menemani papa belanja keperluan rumah, aku meminta diantarkan ke kafe milik sahabatku, Ali.

Ali menyentil dahiku keras. Aku langsung menggosoknya dengan rambut agar tidak memar. Sialan. Sakit!

“Bayar sini biaya makan siang lu selama satu tahun terakhir!”

“Emang gue nganggur udah setahun?”

“Udah dan lu selalu makan siang di kafe gue. Gue kan lagi buka usaha bukan badan amal.”

Muhammad Ali. Pertama kali bertemu dengannya saat aku kuliah beasiswa di Australia. Awalnya aku merasa aneh karena dia selalu datang ke kafe tempatku bekerja paruh waktu. Perawakannya yang tinggi dan kulit sawo matang membuatnya terlihat sempurna di mataku. Namun, anggapan itu berakhir saat dia mulai terlihat di kampus dan mendekatiku untuk menjadikanku bahan riset. Benar. Dia sudah merencanakan untuk membuka kafe saat pulang ke Indonesia sejak dia masih kuliah di Australia. Gigih sekali.

“Malah bengong. Udah setaun!” Ali masih mencoba menggangguku.

Aku mengibaskan rambut tak peduli dan lanjut menyuap makan siangku yang dibuat langsung oleh Ali. Meski galak dan jutek juga kadang perhitungan, tapi dia koki yang andal dan penyayang. Semua masakannya enak. Sekali lagi, Ali menampol kepalaku kemudian berlalu seolah aku tak memiliki harga diri sama sekali di hadapannya.

“Pulang sana! Berendem. Sadar. Terus CARI KERJA!!!” teriak Ali. Sial! Kalau saja perutku tidak kelaparan, aku sudah bakar habis kafe ini.

“LU BISA-BISANYA DIEM AJA GUE DIANIAYA SAMA ALI?!” Faktanya aku lebih marah pada Rayhan yang dengan gantengnya masih membaca buku di sampingku. Well, dia memilih bekerja di perusahaan milik ayahnya dan memiliki priviledge untuk menghabiskan waktu makan siang lebih lama dari karyawan lainnya. DAN BISA-BISANYA DIA BACA BUKU DI SITUASI SEPERTI INI?

“Kerja lagi aja sih, Ya. Atau lu mau gue masukin untuk kerja di kantor gue?”

“TIDAK! TERIMA KASIH!”

“Terus apa masalahnya?”

“Udahlah. Capek gue sama kalian semua.”

Aku memasukkan jemariku ke saku hoodie dan meninggalkan mereka semua tanpa pembayaran. Aku masih memikirkan tawaran kuliah dari papa. Tapi kondisi mentalku yang tidak stabil dan aku yang tidak bisa egois untuk kuliah lagi sedangkan Lita dan Bandi masih membutuhkan banyak biaya. Meski dengan aku yang kuliah lagi pun papa tidak akan kekurangan uang untuk membiayai anak-anaknya, namun aku tetap merasa ini tidak benar. Ah sudahlah! Waktunya beli es krim di minimarket sambil nongkrongin anak-anak SMP pulang sekolah.

Jangan deh sekali-kali cari pdf novel bajakan karena hal tersebut merugikan penulis. Mendingan beralih ke aplikasi Cabaca yang punya banyak novel berkualitas. Mau cari novel new adult? Ada! Bahkan cerita romantis dan cerita hot terbaru juga ada. Install Cabaca di Google Play untuk menikmati serunya baca novel terbaru di HP kamu.

Baca Juga Novel Serupa Therapeutic: