Teaser Novel Barista Sayap Angsa di Cabaca.id
Novel Barista Sayap Angsa di Cabaca.id – “Udah nyampe?”
“Bentar lagi.”
“Pffft….” Yogie menghela napas. Dia mulai bosan menghabiskan sisa hari di dalam mobil, duduk di samping Devan. Temannya itu mengemudi seperti tak punya lelah, menyusuri jalan menuju pedesaan di Jawa Tengah. Sudah delapan jam mereka di jalan tapi belum juga sampai di tempat yang dituju Devan.
Bagi Yogie, perjalanan ini hanya kekonyolan belaka, pemenuhan obsesi Devan akan racikan kopi enak. Kenapa juga harus jauh-jauh ke daerah Bawean begini? Tanpa rencana pula. Tiba-tiba saja pagi-pagi Devan menjemput, lantas menyuruhnya buru-buru bersiap dan berangkat. Untung saja dia tidak ada rencana apa-apa akhir pekan ini, tapi ya sebetulnya malas juga sih kalau tidak ingat betapa Devan sedang membutuhkan dukungan.
“Sebenernya kita mau ngapain sih ke kebun kopinya kenalan lo … siapa? Pak Putera?” tanya Yogie.
“Iya, Pak Putera. Dia punya perkebunan kopi di pinggiran Semarang. Katanya, gue bisa belajar dari pegawainya di sana soal kopi.”
“Elo kan bisa cari orang buat itu, lagian kenapa enggak elo datengin aja karyawannya Pak Putera ke Jakarta kalau cuma buat ngajarin soal kopi.”
“Beda, Gie.” Devan memutar setir memasuki belokan. Jalannya menyempit, becek dan penuh lubang.
“Woy, pelan, Dev! Jalan begini elo pake kecepatan jalan tol,” Yogie mengelus-elus bagian belakang kepala yang terbentur sandaran kursi akibat guncangan mobil.
“Sori… tapi lima kilo lagi sampe kok.” Mata Devan mengamati GPS. Mobil mereka membelah jalan kecil. Di ujung sana mulai tampak perbukitan kecil diselimuti perdu berbunga-bunga putih yang semarak bermunculan di sana sini. Keduanya tersadar, seluruh bukit itu ditanami tanaman kopi.
“Udah deket nih,” seru Devan senang.
Sialnya, sinyal GPS terus melemah sehingga mobil seolah berputar-putar di kawasan yang sama. Dua jam berlalu dan mereka tidak juga menemukan tempat yang dicari. Jingga mulai merembesi langit, keduanya mencoba bersaing menahan lelah.
“Udah, balik aja deh. Kita nginep di Semarang, besok balik lagi.” Akhirnya Yogie tak tahan.
“Ntar, tanggung. Bentar lagi ketemu kok.” Devan mencoba menggunakan intuisinya untuk menemukan lokasi, tapi hal itu justru membuat Yogie meradang.
“Dev, lo gila apa?! Bentar lagi gelap nih. Elo mau nginep di tengah kebun nggak jelas gini? Udah putar balik cepetan.”
“Nggak sabaran amat sih. Bentar lagi nyampe.”
“Sabar gimana? Udah berjam-jam kita nyasar. Udah balik sekarang!”
“Bentar lagi.”
“Dev!” teriak Yogie sambil melotot. “Kalo elo mau terusin, turun dari mobil gue. Jalan kaki sana, gue mau balik sekarang.”
Merasa kesal diteriaki begitu oleh Yogie, Devan menekan pedal rem. Dia sendiri sebetulnya sudah lelah dan sedikit panik karena tidak juga sampai di lokasi. Gengsi membuatnya malas berdebat. Dia mengambil ranselnya, keluar dari mobil, dan kemudian membanting pintu keras-keras.
“Fine! Gue cari sendiri. Elo balik sana!” Devan lantas melangkah menjauh dengan wajah dongkol.
“Fine!” teriak Yogie sambil pindah ke kursi pengemudi. Saat ini, dia sama kesalnya dengan Devan. Tanpa ragu, kakinya menekan pedal gas sementara tangannya memutar setir, lalu mengemudikan mobil ke arah berlawanan tanpa menoleh lagi.
“Brengsek!” seru Devan. Yogie benar-benar meninggalkannya di tengah kebun kopi yang asing ini. Tidak ada pilihan, dia harus tetap mencari tempat yang dituju, meski harus berjalan kaki. Dipanggulnya ransel yang tak berat, lalu diikutinya arah yang dia yakini benar.
Baca Juga: Teaser Novel Devils Inside di Cabaca
Entah berapa lama dia berjalan, yang jelas bayang-bayang sinar matahari semakin panjang di belakang. Dalam hati, dia sedikit heran mengapa kawasan ini sangat sepi, teramat sepi malah. Sejak tadi tidak ada satu pun penduduk yang dia temui. Tanpa GPS, Devan hanya bisa mengandalkan intuisi dan ponsel bersinyal lemah untuk menemani langkah yang mulai payah.
Haus memaksa cowok tinggi bertubuh bagus karena rajin olahraga itu duduk beristirahat sebentar di bawah bayangan pohon. Sambil meneguk air dari botol, dipandanginya perbatasan langit dan bukit, awan-awan putih di langit berkejaran tanpa suara. Bentuknya lucu-lucu. Ada awan yang bulat-bulat seperti gambar anak TK, ada awan yang mirip gajah dan kucing sedang bercerita, ada awan yang menghamparkan pelangi dari salah satu sisinya. Eh, sebentar ... kok pelangi sih?
Devan mengejap-ngejapkan mata. Bener! Itu pelangi. Semburat warna-warni melengkung seolah dimuntahkan gerombolan awan putih ke bumi. Aneh, kok bisa ada pelangi? Kan nggak hujan? pikirnya. Segera diambilnya ponsel, hendak memfoto fenomena langka itu. Ketika kamera siap, ditolehkan padangan ke awan tadi dan seketika terkesiap. Sekarang, bukan cuma pelangi yang keluar dari awan, tapi beberapa ekor angsa putih! Angsa-angsa itu terbang seolah sedang menari menuju bumi.
Wait! Beneran nggak sih, apa jangan-jangan gue lagi kambuh? pikirnya. Cowok berusia dua puluh empat tahun itu pernah mengalami gangguan halusinasi sejak kepergian ibunya bertahun-tahun lalu. Gangguan itu datang dan pergi, hanya saja sudah lama tidak muncul. Lagi pula, sekarang dia sudah mampu mengendalikan diri, jadi ketika gangguannya muncul, dia bisa segera mengembalikan logika—seperti yang dilakukannya sekarang.
Oke, gue lagi capek banget jadi gue lihat yang enggak-enggak, pikirnya merasionalkan diri. Cowok itu berdiri hendak melanjutkan perjalanan. Sekali lagi, dia mencoba mengikuti intuisi dan bergerak ke Barat Daya. Perubahan jenis dan kerapatan vegetasi perlahan menyadarkan Devan bahwa dia sudah meninggalkan bukit kopi dan masuk ke perbatasan hutan. Brengsek, salah lagi!
Devan memutuskan kembali ke arah dia datang dengan menyusuri jalan setapak yang sama. Telinganya menangkap suara gemericik air sayup mengisi alam. Semakin lama semakin jelas hingga tampaklah sungai berair jernih membelah setapak. Aneh, tadi kayaknya nggak ada sungai pas gue ke sini, apa jangan-jangan salah arah ya?
Merasa sudah semakin tersesat, dia mengikuti saja sungai itu. Logikanya, tak jauh dari sungai pasti ada pemukiman penduduk. Yah, mungkin saja dia bisa beristirahat sebentar di rumah salah satu dari mereka, dan besok melanjutkan pencarian lokasi lagi. Dia terus berjalan. Suara tonggeret, sejenis serangga berbunyi nyaring, mulai terdengar lamat-lamat memenuhi alam – begitu juga dengan suara tawa riuh samar dari beberapa perempuan.
Hah? Suara cekikikan cewek? Di tengah tempat antah berantah gini? Devan langsung merinding karena pemikirannya sendiri. Pasti gue kambuh lagi. Dia mempercepat langkahnya—tapi, suara tawa riuh itu terus terdengar, diselingi gumaman yang menggema di udara, seperti ada beberapa orang yang mengobrol dari kejauhan.
Ini sungguhan! Gue nggak salah dengar, itu memang suara-suara cewek. Devan mencoba mencari asalnya, sepertinya dari seberang sungai, di balik jejeran perdu yang teramat rapat. Kombinasi rasa takut dan penasaran mendorongnya untuk menyebrangi sungai lalu naik ke sisi atas tebing dengan susah payah. Suara-suara itu makin nyata, tepat di balik perdu. Jantung Devan berdegup kencang ketika tangannya menyibak kumpulan perdu dan ...
Di sana. Di balik perdu. Berjarak beberapa meter dari tempatnya berdiri tampak sebuah telaga berair biru jernih. Aroma bunga-bungaan menguar kuat dari segala penjuru. Kabut air tipis seolah tirai yang membatasi pandangan, tapi matanya menangkap hal menakjubkan lainnya.
Sekumpulan cewek tampak sedang duduk-duduk merendam kaki di telaga. Beberapa tidur-tiduran di atas batu berkilau yang menjorok di atas air. Cahaya halus kebiruan memancar dari setiap tubuh perempuan-perempuan berambut tebal panjang, berkulit glowing dan berwajah amat cantik itu. Mereka seperti sekelompok cewek yang hang out di Starbuck, mengobrol dan sesekali tertawa dengan ekspresi begitu ceria.
Tapi, Devan tidak ceria. Dia terbeliak ketakutan sampai-sampai lupa bernapas. Pijakan kakinya goyah, tangannya berusaha menangkap perdu, tapi tetap saja dia jatuh terjerembap.
...
baca selanjutnya di sini.
Baca Juga: Teaser Novel Womanizer di Cabaca
Devan bertemu dengan... apa? Bidadari? Absurd memang, tapi pertemuan itu membawanya pada perjalanan baru yang melengkapi bisnis kafenya. Novel Barista Sayap Angsa ini merupakan retelling dari kisah Jaka Tarub dan bisa dibaca GRATIS di Cabaca.
Beneran bisa baca novel gratis? Ya, benerlah! Asal kamu ngelakuin misi kerang atau bacanya di Jam Baca Nasional atau Happy Hournya Cabaca aja. TIAP HARI LHO mulai pkl 21.00-22.00 WIB. Gak perlu pakai kerang, cukup install aplikasi Cabaca di smartphone kamu!
