Teaser Novel Gentiri Karya Heri Widianto di Cabaca

Teaser Novel Gentiri Karya Heri Widianto di Cabaca – Tangan Agung tergerak menutup wajah dengan topi Gareng, menyisakan kedua mata serta mulut. Bersama Windu dia menunggu di kebun belakang, dekat hamparan pohon pisang dan kelapa saling beradu milik tengkulak tembakau di Desa Maesan―Bromo. Ditemani suara jangkrik dan sesekali kepak kelelawar, Agung mengamati tembok tinggi sebagai jalan mereka masuk. Tangga bambu telah mereka siapkan sebagai perlengkapan mencuri malam ini. Mereka berjongkok dan mulai kesemutan.

“Di sini tidak ada setan, kan, Gung?” tanya Windu memecah sunyi. ”Aku dengar pocong suka mengintip di sebelah situ.” Windu menunjuk satu pohon pisang paling dekat. “Orang kampung bilang, kebun pisang milik Pak Bromo ini gudangnya setan,” tutup Windu ketika pergerakan angin meniup daun pisang yang ditunjuknya tadi. Bersamaan dengan itu, dia tepuk nyamuk di pipi dan juga betisnya yang sebesar gedebok pisang. Konsentrasi Agung sempat hilang sebentar. “Nyamuknya juga mirip setan.”

“Kalau kamu takut, kamu boleh pulang, Ndu,” balas Agung.

Windu cepat-cepat menggeleng. Punggungnya menegak. Dia ikut berkonsentrasi.

“Sesuai yang aku bilang tadi, cari barang yang bisa dipanggul.” Agung berkata pelan, mengulangi ucapannya sampai tiga kali. “Terus, hati-hati kalau sudah masuk ke rumah Pak Bromo… jangan berisik….” Wajah kesal Agung masih kentara. “Dan harusnya kamu datang lebih awal supaya kita bisa lebih lama mengawasi rumah ini.”

“Maaf, Gung. Aku tadi ketiduran. Kekenyangan. Wati masak ikan sepat sama sambal mentah. Kebiasaanku juga harus tidur dulu sebelum begadang. Biar badan segar, terus mata jernih. Pikiran juga.”

“Kita tidak sedang nonton layar tancap, Ndu!” Tersadar suaranya sedikit meninggi, Agung membungkam mulutnya dengan kedua tangan. Balasan tawa Windu bocor. Sebentar. Selanjutnya, telinga Agung mulai memastikan tidak adanya langkah mendekat atau suara-suara lain yang mencurigakan. Kemudian, mereka sama-sama menarik napas panjang setelah dirasa aman.

“Sampai kapan kita tunggu di sini?” tanya Windu, tidak sabaran.

“Sampai pagi―”

“Jangan, Gung,” potong Windu. ”Kamu ngawur. Nanti bisa ketahuan yang punya rumah.”

“Makanya jangan goblok,” sembur Agung geram. “Sampai aku yakin aman, baru kita masuk.”

Bukannya marah dengan makian Agung, Windu malah terkekeh mendengar balasan semacam itu.

Bruk....

Untung saja Agung orangnya tidak mudah terkejut, apalagi teriak mendapati dorongan dari belakang. Dia sampai terjerembap karena ulah Windu.

“Ada apa lagi?” Agung mencoba menahan emosi saat bangkit. Jantungnya hampir copot padahal mereka belum memulai aksinya.

“A-aku pegang kulit ular, Gung. Seperti kulit orang mati. Tadi jalan di belakangmu,” urai Windu, menunduk dan mengawasi tanah di depannya.

Karena gelap, Agung tidak terlalu memperhatikan raut wajah Windu. Apakah dia sedang ketakutan atau sedang mengerjainya. Setelah tersadar tidak ada gunanya bertanya lebih jauh apalagi membahas, Agung hanya membalas dengan mendesah. Mencoba untuk tidak peduli.

“Kenapa tarik napas panjang?” seilidik Windu. “Benar kan, ada ularnya?”

“Kenapa kamu tidak dipatuk ular saja sekalian?” balas Agung kesal dan menyesal telah mengajak teman tidak bergunanya itu.

Windu berusaha keras menahan tawanya sampai pundaknya bergetar dan melupakan kejadian memegang ular hanya dalam sekian detik. “Kenapa kamu bicaranya selalu kocak sih, Gung?”

“Pakai topi Gareng-mu!” perintah Agung. “Terus, tutup mulut baumu itu. Jangan tertawa!”

Windu menurut dan menunggu di belakang Agung dengan kantuk mulai menggelayut. Seharusnya, Agung bisa sedikit lega sewaktu menunggu Windu di tempat janjian. Dia yakin, temannya itu tidak akan datang begitu waktu janjian telah lewat. Namun dengan langkah cepat, Windu mendarat di belakang Agung, membawa serta tangga bambu dan membuat ketenangan sebelumnya terbentuk, menguar. Sampai akhirnya mereka mendekam di kebun pisang milik Bromo dengan siksaan berbagai macam pertanyaan tidak masuk akal dari mulut Windu. Terutama, persoalan setan dan kawan-kawannya itu.

“Sekarang ikuti aku. Jangan lupa bawa tangganya!”

Kantuk pun lenyap saat Windu bergerak membawa tangga bambu dengan langkah cepat dan meletakkannya miring di tembok rumah Bromo. Agung memerintah Windu untuk tidak jauh-jauh saat mengekor.

Setelah semua siap, Agung memanjat tangga sementara Windu menunggu dengan wajah cemas di bawah. Untuk menenangkan gemertuk gigi-giginya, Windu berdiri sambil berkacak pinggang, memandang ke kanan dan kiri. Berselang-seling.

“Tenang, Ndu….” Suara Agung seperti berbisik saat mulai memanjat.

“Iya.” Windu membalas dengan sama pelannya, tetapi tetap belum bisa menenangkan jantungnya.

Saat tiba di atas, Agung ngeri memandang ke bawah. Pijakan kakinya selebar tapak. Sembari menjaga keseimbangan, Agung menyasar sisi lain dari tembok tinggi itu. Beruntung, meski samar karena terkena cahaya bulan yang tak utuh, Agung sempat menghapal beberapa titik di rumah Bromo.

Agung menemukan beberapa lekukan di tembok yang bisa dia gunakan sebagai pijakan. Hanya dua kali mencengkeram lekukan itu dan mendarat di tepat pinggiran sumur, dia sudah bisa menjejak lantai yang biasa digunakan untuk mencuci piring atau baju.

Ternyata Windu tidak terlalu goblok,” puji Agung dalam hati. “Kamu tunggu di bawah sebentar. Kalau aku sudah turun, baru kamu naik. Takut temboknya ambrol. Terus, turunnya juga hati-hati. Ada dua lubang di tembok bisa untuk pijakan. Saranku, jangan sampai jatuh.”

“Iya,” jawab Windu pelan.

Lima belas menit kemudian mereka sudah ada di bagian samping rumah Bromo. Pandangan Agung berkilatan membalas mata awas Windu. Dia menduga Windu ingin mundur, tetapi karena telanjur sampai di seberang tembok, dia sempat bingung saat menentukan sikap.

“Ini kita salah lho, Gung. Kalau sampai ketahuan, bisa dibakar hidup-hidup.” Windu berbisik, mengutarakan kekhawatirannya.

“Kita tidak jadi begal. Kita cuma kurangi sedikit hartanya. Jadi, kalau sampai tertangkap, tidak mungkin dibakar hidup-hidup. Palingan diarak ke kantor desa. Lagi pula, Pak Bromo tidak akan bangkrut karena hal ini.”

Windu mengangguk ragu-ragu, lalu menggeleng cepat. “Apa bedanya? Sama-sama ambil punya orang, kan?”

...

baca selanjutnya di sini.

Baca Juga: Teaser Novel Monster in Law di Cabaca

Komplotan maling mulai beraksi dengan modal sebuah rapalan kuno bernama Gentiri. Celakanya, ritual yang dijalani malah membawa petaka ... Sebuah novel legenda misteri terbaru di Cabaca. Baca novel Gentiri, gratis!

Tak hanya novel horor, kita juga bisa baca novel dari genre lain seperti teenlit, fantasi, komedi, dan lain-lain. Makin mudah di aplikasi Cabaca jika baca di Jam Baca Nasional, bisa baca gratis! Cukup baca di Happy Hournya Cabaca tiap pukul 21.00-22.00 WIB. Tapi jangan lupa download dulu aplikasi Cabaca di Google Play ya.

Baca novel Indonesia di Cabaca