Teaser Novel Oppa is Mine di Cabaca
Novel Oppa is Mine di Cabaca.id--Pagi hari ini tidak jauh berbeda dari pagi sebelumnya, seperti biasa seorang cewek berambut lurus sepundak memarkirkan motornya di parkiran SMA 16. Setelah menaruh helm dan melepas jaket, Yuna menggendong tasnya di bahu, lalu berjalan dengan santai menuju kelas.
Sampai di kelas, Yuna langsung menaruh tasnya di atas meja. Dengan senyum semringah Yuna menunjukkan HP-nya kepada kedua temannya yang sedang sibuk menyalin PR. “Lihat! Pagi-pagi langsung lihat yang ganteng-ganteng bikin semangat menjalani hari, kan?!”
Kedua temannya berhenti menyalin PR dan melirik ponsel Yuna sejenak, kemudian menghela napas. “Jongkok lagi?” tanya salah satu teman Yuna, Helen.
“Jungkook!” sahut Yuna membenahi ucapan Hellen.
“Jongkok?” tanya Jemma, alisnya mengerut sambil menatap Yuna dengan pandangan bertanya.
“Jung-kook,” ralat Yuna dengan nada pelan sambil menatap wajah Jemma. Jemma langsung mengangguk mengerti, lalu tersenyum, merasa sudah paham ucapan Yuna.
“Jongkok be-te-es!” teriak Jemma sambil tersenyum lebar. Yuna mengatupkan mulut, dan menghela napas. Harus banyak bersabar jika berbicara dengan Jemma.
“Jungkook bi-ti-es, Jem. Cara bacanya bi-ti-es, bukan be-te-es!” Yuna sedikit meninggikan suaranya. Yuna sudah sering memberitau Jemma dan juga Hellen cara membaca nama boyband kesukaannya. Pun cara mengeja nama biasnya, Jungkook. Namun, tetap saja mereka menyebut Jungkook dengan sebutan “Jongkok”. Membuat Yuna sedikit frustrasi setiap mereka membicarakan tentang BTS.
“Sttt, udah bel. Ayo baris!” Hellen menutup bukunya, lalu berlari kecil menuju lapangan, Yuna mengikuti langkah Hellen dengan malas, perasaan bahagianya pagi ini sirna begitu saja karena Jemma.
Sekarang, mereka sudah berbaris dan akan diberikan pengumuman pagi atau wejangan. Yuna menyenggol bahu Hellen, saat melihat cewek berambut lurus sebahu yang bernama Keiva berjalan dengan langkah lunglai menuju ruang guru.
“Keiva telat lagi, tuh!” bisik Yuna pada Hellen. Hellen mengiikuti arah pandangan Yuna, mendapati Keiva tengah berdiri di antara murid-murid yang terlambat.
Yuna yang sempat melakukan kontak mata dengan Keiva tersenyum meremehkan, tangannya terangkat dan mengepal, memberikan semangat kepada Keiva.
Wejangan singkat pun selesai, murid-murid yang lain dibubarkan, kecuali yang terlambat. Yuna berjalan dengan kedua temannya menuju kelas, sesekali mereka bercanda.
"Yun, lo hari ini liat ada yang beda gak dari gue?" tanya Hellen.
Yuna menyampingkan tubuhnya, menilai temannya itu dari atas sampai bawah. "Rok lo tambah pendek satu senti, gak takut masuk BK?"
Cewek itu terkekeh-kekeh pelan. "Yang gue maksud itu sepatu gue, bukan rok. Tapi, rok gue emang gue kecilin dikit, sih."
"Lo mah dikit-dikit, tiap bulan dikit-dikit. Taun depan abis tuh rok," ujar Jemma.
"Rok punya gue juga," desis Hellen pelan, tepat di depan pintu kelas mereka.
Yuna menggelengkan kepalanya pelan, berjalan menuju bangku tengah samping kiri nomor dua. Hellen duduk di sebelahnya, sementara Jemma duduk di depan Yuna.
Jemma berbalik, menangkupkan wajahnya di meja Yuna. "Sebenernya si Keiva ngapain sih di rumah? Telat mulu deh perasaan."
Yuna mengangguk, "Gue juga gak tau, gak mungkin kan dia kesiangan setiap hari?"
Hellen mendekat dengan wajah keponya. "Alasannya sih bangun siang, beneran?"
Mereka bertiga saling tatap, lalu mengangkat bahu.
“Pusing deh mikirin si Keiva. Mending gue buka Youtube aja, mumpung belum ada guru. Lumayan liat BTS bisa bikin sisa hari gue sedikit bahagia.” Tangan Yuna membuka kunci ponselnya, kemudian memutar salah satu MV BTS.
“Mending liatin Justin Bieber, Yun!” seru Jemma.
“Liat sendiri sana! Gak usah ngajak gue, udah bosen lo kasih liat Justin tiap hari.”
Hellen menggeleng pelan, cewek itu kembali fokus mengerjakan PR-nya yang sempa tertunda. Tidak menghiraukan Yuna dan Jemma. Lama-lama mendengarkan perdebatan Yuna dan Jemma membuat Hellen ikut pusing dan frustrasi.
Baca Juga: Pernah Dikecewakan, Gadis ini Bikin Agen Rahasia Khusus Menyelidiki Orientasi Seksual
Seperti biasa, jam istirahat adalah jam yang paling ditunggu-tunggu oleh seluruh murid. Dengan langkah hati-hati, Keiva membawa nampan berisi makanan pesanan teman-temannya. Keiva langsung menaruh nampan di meja bundar tempat biasa mereka berkumpul dan makan bareng saat ia sampai.
Keiva menaruh satu mangkok bakso di hadapan Yuna. "Nih pesenan lo, Yun!"
"Lo nasi goreng, kan, Jem?" Keiva menaruh tiga piring nasi goreng yang langsung diambil oleh Jemma dan Hellen, lalu ia duduk di antara Yuna dan Hellen.
"BTW kenapa lo sering telat, Kei?" tanya Yuna pelan. Seketika tangan Keiva yang habis memasukkan sesendok nasi goreng berhenti, dan turun perlahan.
Keiva mengunyah nasi gorengnya pelan, kemudian menelannya dan berdeham. "Biasa, gue telponan sama pacar gue."
Yuna mengernyit. "Setiap malem?" Keiva mengangguk. Ia kembali memakan makanannya dalam hening.
"Emang siapa pacar lo? Lo dari dulu gak pernah mau bilang," tanya Jemma penasaran, ia menaik turunkan alisnya mencoba merayu Keiva.
"Kalo kalian tau, nanti kalian gak percaya sama gue," ujar Keiva pelan, ia menunduk menatap nasi gorengnya.
Hellen memutar bola matanya. "Lo aja belum cerita, masa udah berasumsi kaya gitu?"
Keiva menatap Hellen sembari tersenyum, mungkin sekarang saat yang tepat untuk mengatakan yang sebenarnya. Toh jam istirahat sebentar lagi habis, dan kantin sudah mulai sepi.
"Sebenernya, gue mau jujur sama kalian dari dulu. Tapi ini rahasia kita, ya?" Keiva menurunkan nada suaranya, membuat yang lain penasaran dan merapatkan duduknya agar lebih dekat dengan Keiva.
"Pacar gue kakak kelas," Keiva menarik napasnya pelan, lalu mengembuskannya.
"Terus?" tanya Jemma penasaran, ia sudah tidak sabar dengan hal selanjutnya yang akan Keiva katakan.
"Anak IPA 3, yang selalu ngintilin kak Daniel, yang rambutnya selalu dinaikin."
"Tunggu-tunggu," Yuna menyela. "Maksud lo yang selalu ngintilin kak Daniel, yang rambutnya selalu di naikin. Pacar lo Kak Rizki?” seru Yuna kaget dengan nada yang tidak bisa dibilang pelan.
Jemma yang kebetulan ada di samping Yuna langsung membekap mulut Yuna. "Ini rahasia, lo gak usa pake teriak bisa kali!"
Yuna tersenyum tipis sembari tangannya membentuk huruf V. "Sorry, kaget sih!"
"Jadi, beneran pacar lo kak Rizki, Kei?" tanya Hellen memastikan. Raut wajah Hellen tak terbaca, antara kaget dan tidak percaya, tapi masih bisa ditutupi dengan wajah seriusnya.
Keiva mengangguk. "Dapet apa kalo gue bohong?"
Yuna menepuk jidatnya lumayan keras, "Aduh, ini April, ya? Kok bercandamu lucu, astaga!" ujar Yuna dengan jidatnya yang merah.
“Gue udah yakin, kalian pasti gak akan percaya. Tapi gue sama sekali gak bohong loh!” tegas Keiva.
Hellen berdecak-decak, dahinya tertekuk. “Lo yakin Kei, sama kak Rizki? Lo tau kan, predikat dia apa di sekolah?” tanya Hellen memastikan.
“Iya, gue tau.”
“Cowok paling banyak tingkah setelah Kak Daniel,” sahut Yuna dan Jemma berbarengan, sudah sangat hafal dengan tingkah laku Daniel dan kawan-kawannya.
“Lo masih yakin, Kei? Lo yakin gak jadi bahan taruhan?” tanya Hellen lagi.
"Terserah sih. Gue udah sebulan sama kak Rizki, dan gue bahagia banget." Keiva tersenyum, sama sekali tidak menghiraukan perkataan Hellen dan yang lainnya. Keiva menghabiskan minumannya, lalu bangkit pergi.
Keiva berhenti lalu membalikkan badannya, "Udah bel masuk, kalian mau ditangkep guru BK?"
Baca Juga: Ini 6 Alasan Novel Beranda Kenangan Layak Dibaca untuk Mengenang Kerusuhan Mei 1998
Siang ini ada pertandingan basket antar kelas. Siapa yang mau melewatkannya, saat para cogan berkumpul dan berusaha mencetak skor.
Yuna pun tidak mau melewatkannya. Dengan modus ingin melihat sang pujaan hati, Yuna berhasil menyeret paksa teman-temannya ke dekat pohon rindang di tepi lapangan basket.
Yuna terus menatap cowok berbadan kurus tinggi yang menjadi kapten basket 11 IPS itu dengan tatapan memuja. Siapa sih yang tidak kesengsem, saat melihatnya main basket sampai berkeringat?
Yuna pun hampir pingsan kesenengan melihatnya tersenyum, walau bukan ke arah Yuna. Yuna mengibaskan tangan di dekat lehernya, seketika udara rasanya memanas.
“Aldo itu emang Jungkook gue di dunia nyata! Gak apa-apa deh, gue gak bisa dapetin Jungkook, asal gue bisa dapetin Aldo,” gumam Yuna. Matanya sibuk memperhatikan gerak-gerik Aldo—terlebih wajahnya, walaupun jauh berbeda dengan wajah Jungkook, tapi Yuna tetap menganggap Aldo sebagai Jungkook-nya dia dunia nyata.
"Yun awas!!"
Bugh!
Brak!
"...."
"Duh, makanya lo jangan bengong di pinggir lapangan, dong!"
Yuna terdiam sambil memegangi kepalanya, rasanya sakit dan berdenyut. Tetapi ia sama sekali tidak merintih, bahkan bersuara pun tidak. Yuna mendongak dan menatap cowok jangkung agak berisi berdiri di depannya.
"Gue kira bakalan pingsan, paling biru doang. Yuk, main lagi," ajak cowok itu. Ia memungut bola basket yang tergeletak di samping tong sampah, lalu pergi tanpa menanyakan keadaan Yuna.
Yuna mengembuskan napasnya kasar. "Heh, lo!" panggil Yuna sambil menunjuk cowok itu.
Cowok yang ditunjuk Yuna berhenti, lalu membalikkan badannya, "Gue?" tanya cowok itu sambil menunjuk dirinya.
"Iya, elo. Lo cowok belagu! Seenggaknya, lo minta maaf atau apa kek! Tanya gue baik-baik aja, atau bawa ke UKS gitu!" teriak Yuna marah, menghiraukan denyutan di dahinya.
"Lo yang salah, siapa suruh bengong di sana!" Cowok itu berbalik dan berjalan ke tengah lapangan lagi.
Yuna tak terima, ia melangkah memasuki lapangan basket sambil melipat lengan bajunya.
"Mampus. Kenapa gak kita berhentiin si Yuna?" tanya Jemma kelimpungan. Antara ia ingin duduk diam ikut menonton, atau pergi menghentikan Yuna.
Hellen melipat tangannya di depan dada. "Udah diemin aja, kapan lagi sih ngeliat Yuna marah di lapangan basket?"
Keiva mengangguk setuju. "Kalo lo gak mau malu, mending diem aja nonton.
Benar-benar teman yang baik, bukan?
Yuna berdiri di depan cowok itu dengan mata melotot serta wajah yang merah padam. Ia mendongak menatap wajah cowok itu, sekarang ia sadar betapa pendek dirinya. Bayangkan saja, Yuna bahkan hanya setinggi ketiak cowok itu.
Miris. Desis Yuna dalam hati.
"Minggir gak lo?!" suruh cowok itu. Yuna menggeleng, ia masih tetap berdiri tegak di depan cowok itu sambil berkacak pinggang.
"Gue gak akan pergi, sebelum lo bertanggung jawab," ujar Yuna sinis. Cowok itu menatap Yuna tak percaya, sementara Yuna membalas tatapan cowok itu dengan tatapan sinis.
"Paling cuma mer—ya ampun berdarah!" Cowok itu kaget. Ia mendekatkan wajahnya ke arah Yuna, memeriksa bekas ciuman bola basket tadi.
Yuna mengernyit, lalu menyentuh bagian kepalanya yang agak sakit itu pelan. "Aw," rintihnya, ia melihat tangannya, dan benar ada darah.
Yuna melotot tak percaya. "Astaga, berdarah! Ini gimana, ini gimana? Pokoknya lo tanggung jawab!" teriak Yuna sambil memukul-mukul lengan cowok itu.
"Eh Mark, lo apain anak orang?" tanya temannya. Mark menoleh, lalu tersenyum simpul.
"Lo balik duluan aja, gue mau tanggung jawab dulu."
“Mau… apa?” tanya teman Mark memastikan.
“Tanggung jawab.” Mark tersenyum. Tangannya menarik pergelangan tangan Yuna.
“Mau ke mana?” tanya Yuna curiga, Yuna takut kalau cowok ini berniat yang tidak-tidak padanya.
“Katanya disuruh tanggung jawab! Ini gue mau tanggung jawab,” sahut Mark tanpa menoleh sedikit pun ke arah Yuna.
“Mau ke mana?! Awas ya, kalo lo mau aneh-aneh. Gue teriak nih!” ancam Yuna
“Aneh-aneh?” Mark berhenti, cowok itu menghadap Yuna dan melepaskan gengaman tangannya. Yuna memegang tangannya yang agak terasa sakit. Dahinya berkerut, matanya menatap Mark tak suka.
“Aneh-aneh?” tanya Mark lagi. Mark terkekeh-kekeh pelan, lalu membuka pintu yang ada di sampingnya. Yuna refleks melirik tulisan di pintu tersebut, kemudian mengulum bibirnya.
“Ayo, kita aneh-aneh di UKS.” Mark mempersilakan Yuna untuk masuk duluan, lalu Mark tetap membiarkan pintu UKS terbuka agar Yuna tidak semakin berpikir yang tidak-tidak tentang dirinya.
Yuna berjalan pelan menuju tempat tidur UKS, kemudian duduk di atasnya. Matanya terus mengikuti pergerakan Mark dengan was-was, Yuna masih takut jika Mark tiba-tiba melakukan hal yang tidak-tidak padanya.
“Tenang, gue gak bakal berbuat yang enggak-enggak ke elo. Lagian, lo bukan tipe gue, jauh bahkan,” ejek Mark. Yuna tertohok mendengarnya, kemudian tertawa sinis.
Mark mengambil beberapa obat di lemari, lalu mendekati Yuna. Tangannya dengan telaten menuangkan alkohol ke kapas, membersihkan luka di dahi Yuna. “Kalo sakit bilang,” ujar Mark pelan. Yuna hanya diam saja menuruti setiap perintah Mark.
“Udah.” Mark berkaca pinggang sembari tersenyum. Merasa puas dengan hasil kerjanya, walaupun hanya membersihkan luka dan menutupnya degan plester.
Yuna tampak salah tingkah, ini kali pertama untuknya diperlakukan selembut itu oleh lawan jenis selain ayahnya. Yuna menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, lalu dengan gagap mengucapkan, “Ma… makasih.” dengan pelan.
“Gue udah bertanggung jawab, kan? Berarti utang gue udah kebayar, dan maaf ya,” Mark membereskan obat-obatan yang tadi ia keluarkan, kemudian memasukkannya kembali ke dalam lemari. Setelahnya, tanpa mengatakan apa pun Mark langsung keluar meninggalkan Yuna yang bingung dengan tingkah laku Mark.
“Dasar cowok aneh!” Yuna mendengkus, tangannya terulur menyentuh kening yang ditempeli plester.
Baca Juga: Pilih Mana: Ditanya Kapan Nikah atau Dikatain Expired?
“Wow, siapa ini yang baru balik? Cie… habis ehem ehem sama Mark.” Jemma menggoda Yuna, alisnya naik turun sembari tersenyum jail. Yuna langsung duduk di kursinya tanpa menghiraukan Jemma yang sudah ribut menggoda Yuna.
“Diapain?” tanya Hellen kalem sambil memainkan HP-nya.
“Cuma diobatin,” jawab Yuna sambil menunjukkan dahinya.
“So sweeeetttt,” sahut Jemma. Keiva menyenggol lengan Jemma, mengisyaratkan agar Jemma diam karena wajah Yuna sudah terlihat tidak enak.
“Sstt, lo mau dimakan sama Yuna?”
“Hah? Sejak kapan Yuna jadi kanibal?” tanya Jemma. Keiva seketika mengembuskan napasnya dalam. Mencoba untuk bersabar sebisa mungkin dengan tingkah Jemma.
“Give up gue,” ujar Keiva sambil mengangkat kedua tangannya.
“Kenapa?” tanya Jemma kebingungan.
“Udah lah Jem, sana lo lanjutin baca cerita di HP lo!” usir Yuna. Jemma hanya mengerucutkan bibirnya, lalu kembali duduk dengan tenang di kursinya sambil memainkan ponselnya lagi, melanjutkan cerita yang ia tunda tadi.
“Terus gimana?” tanya Keiva penasaan. Keiva menangkupkan tangannya di atas meja Hellan, matanya tampak antusias mendegarkan cerita Yuna.
“Udah gitu aja. Diobatin, terus pergi.” Keiva menatap Yuna tidak percaya.
“Serius??” tanya Keiva memastikan.
“Emangnya lo mengharapkan apa?”
“Ya… apa gitu yang bisa dilakuin.” Yuna memutar bola matanya malas.
“Ada guru!” teriak salah satu teman Yuna yang masuk sambil berlari. Seketika suasana kelas yang ribut menjadi hening, menyambut guru mereka dengan malas.
Apakah Yuna suka sama Mark? Baca novel Oppa is Mine di Cabaca.id, klik di sini untuk baca GRATIS.
Aplikasi baca novel di Indonesia yang wajib dicoba! Yuk buka Cabaca. Setiap pukul 21.00-22.00 WIB alias di jam baca nasional kita bisa baca gratis lho. Unduh aplikasi Cabaca di Play Store
